Kesimpulan
utama paper ini menyatakan bahwa tasawwuf atau sufisme dapat menjadi salah satu
metode atau jalan untuk menangkal pemahaman dan gerakan radikal bagi generasi
muda Islam di Indonesia. Kesimpulan ini didapat setelah menganalisa tren dan
faktor-faktor penyebab atas terjadinya fenomena pemikiran dan gerakan radikal
yang selama ini berkembang di kalangan muda Islam Indonesia. Tasawuf atau
Sufisme memberikan tawaran pemikiran Islam yang inklusif, moderat, dan toleran
yang tidak terpaku hanya pada tampilan luar atau kulit semata. Sufisme mengajak
kita untuk menerima kebenaran dan menolak kepalsuan, baik dalam pemikiran,
ucapan ataupun tindakan.
Pendahuluan
Pemikiran
dan gerakan radikal kian menjamur di Indonesia, tatanan kehidupan sosial yang
tadinya rukun dan tentram seketika itu jadi tegang dan mencekam. Sebelum
memasuki bulan suci Ramadhan ini misalnya, berbagai peristiwa teror terjadi di
banyak titik: kerusuhan napiter di Mako Brimob Kelapa Dua Depok, serangan bom
bunuh diri di tiga Gereja Surabaya, ledakan di Sidoarjo, serangan bom bunuh
diri di Mapolres Surabaya, dan Serangan terorisme di Mapolda Riau di Pekanbaru.
Atas aksi terorisme tersebut, puluhan nyawa tak berdosa melayang begitu saja,
dan yang lebih mirisnya lagi, aksi tersebut melibatkan anak-anak di bawah umur
yang jua menjadi korban.
Lima aksi
terorisme yang belakangan ini terjadi merupakan petanda bahwa sesungguhnya
paham dan gerakan radikal masih ada dan eksis menghantui bangsa ini. Jika kita
analisa secara mendalam, bahwa sesungguhnya ada relasi yang kuat antara
pemikiran radikal –khususnya dalam aspek keagamaan— dengan tindakan terorisme
yang selama ini terjadi. Bacaan mereka terhadap teks-teks agama dengan tidak
didasarkan atas dasar-dasar ilmu yang kuat menyebabkan pemaknaan yang melampaui
batas, sampai batas-batas kemanusiaan pun mereka korbankan demi tujuan
penerapan suatu ideologi keagamaan tertentu.
Tujuan utama
teroris adalah menebar rasa ketakutan di masyarakat, sehingga tatanan kehidupan
sosial menjadi tidak stabil. Motif dibalik aksi terorisme adalah politik
kekuasaan yang menginginkan adanya penerapan atas satu sistem ideologi
tertentu. Dari itu, radikalisme dan terorisme adalah fakta sosial yang harus
kita lawan secara komprehensif dari berbagai arah secara bersama-sama.
Ada satu
fakta menarik prihal korelasi antara pemahaman agama yang dangkal, pemikiran
radikal, dan tindakan terorisme. Adalah Siska Nur Azizah, perempuan 21 tahun
ini ditangkap di Mako Brimob Kelapa Dua Depok karena hendak menyerang polisi
sebagai aksi balas dendam atas kematian para narapidana terorisme yang
melakukan kerusuhan di Mako Brimob tersebut. Siska ditangkap bersama dengan
temannya, Siska Dita Millenia (Tempo, 2 Juni 2018).
Dari
keterangannya, Siska mengaku bahwa ia simpati kepada para narapidana terorisme
yang ditahan di Mako Brimob Depok. Ia hendak membantu para ‘ikhwan’ yang
menurut ia sedang dalam keadaan kesusahan karena kekuarangan makanan. Siska
juga yakin bahwa mereka, para napiter tersebut bukanlah teroris. Bahkan, ia
sangat mendukung gerakan yang dilakukan oleh Islamic State of Iraq and Syiria
(ISIS). Pengetahuan dia tentang paham ISIS didapat dari internet.
Sama halnya
dengan Siska, Dita memiliki pemahaman dan keyakinan bahwa sistem demokrasi yang
dipakai oleh Indonesia adalah haram, karena menurutnya demokrasi adalah sistem
ciptaan manusia. Yang paling miris dari investigasi yang dilakukan Tempo adalah
ketika ditanya: Apakah anda pernah membayangkan atau membunuh orang lain? Dita
menjawab: Iya, tapi belum pernah, kok. Ya ingin melakukannya saja. Siska juga
mendapatkan pemahaman seperti itu dari internet dan media sosial lainnya.
Dua remaja
perempuan tersebut merupakan sedikit potret atau gambaran bahwa sesungguhnya
paham radikalisme sudah begitu akut masuk ke dalam pertahanan generasi muda
Indonesia. Propaganda yang begitu masif di dunia internet menjadikan paham
tersebut mudah diterima begitu saja, bahkan oleh mereka yang sedang mengenyam
pendidikan di Perguruan Tinggi.
Radikalisme
di Perguruan Tinggi
Semakin tinggi
pendidikan seseorang, tidak menjadi jaminan ia menjadi sosok yang moderat dalam
pemikiran dan tindakan. Banyak mahasiswa yang mendapatkan pemahaman ideologi
radikal dari ruang-ruang terbatas yang ada di dalam kampus. Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia (LIPI) menyatakan bahwa pasca reformasi, peta pemikiran
dan gerakan mahasiswa telah berubah secara signifikan. Kelompok Cipayung –HMI,
PMII, GMNI, PMKRI, dan GMKI— yang sebelumnya dianggap mendominasi gerakan
pemikiran moderat dan progresif di kampus, kini digeser oleh kelompok atau organisasi
lain yang secara masif dan terstruktur menyebarkan paham pemikiran radikal
dalam bentuk tawaran sebuah ideologi transnasional (lipi.go.id).
Jika hanya
sebatas wacana pengetahuan yang bersifat akademik mungkin dinilai sah-sah saja
untuk dipelajari dan didiskusikan, namun hal tersebut akan menjadi soal yang sangat
berbahaya jika sudah membentur-benturkannya dengan dasar berbangsa dan
bernegara, seperti Pancasila, UUD 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan
sistem demokrasi yang selama ini kita pakai. Dengan lantang, mereka yang
memiliki ideologi radikal menyebut bahwa Pancasila dan Demokrasi adalah haram,
sistem thaguth, dan penilaian-penilaian negatif lainnya sehingga dalam
aplikasinya mereka pasang badan untuk melakukan sebuah upaya perlawanan.
Alvara
Research Center melakukan sebuah penelitian dengan jumlah responden 1.800
mahasiswa di 25 Universitas se-Indonesia pada bulan Oktober 2017. Hasilnya pun
sangat mengejutkan. Dalam penelitian tersebut, Alvara mendapatkan sebuah temuan
yang menyatakan bahwa 23,5 % mendukung Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS),
16,8 % menginginkan Islam menjadi Ideologi tunggal di Indonesia, 17,8 %
menginginkian sistem negara berbentuk khilafah, dan 23 % siap untuk berjihad
mendirikan negara khilafah (Tempo, 2018).
Data tersebut
sungguh sangat fantastik, dan kita semua harus menyikapinya dengan serius. Jika
dunia kampus sudah didoninasi oleh mahasiswa-mahasiwa yang berafiliasi dengan
kelompok radikal, maka masa depan kehidupan berbangsa dan bernegara kita yang
beragam dapat terancam, dan Negara Kesatuan Indonesia akan dihantam oleh mereka
yang bersembunyi dan menghimpun kekuatan di balik institusi perguruan tinggi.
Agama
Internet
Selain Alvara
Research Center, Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta juga
melakukan penelitian yang sama. Temuannya adalah, 58,5 % siswa dan mahasiswa
memiliki pandangan keislaman yang memiliki watak radikal. Pemahaman tentang
agama Islam tersebut mereka pelajari dari internet. Dalam penelitian tersebut,
PPIM menemukan bahwa 50,8 % penyumbang informasi dan pengetahuan agama Islam
bagi para siswa dan mahasiswa adalah dari dunia maya, atau internet (Tempo,
2018).
Untuk kita
ketahui, bahwa generasi muda milenial adalah mereka yang dalam kehidupan
kesehariannya tidak bisa lepas dari gawai pintar (smartphone). Untuk
mendapatkan informasi tertentu, generasi muda milenial dapat langsung mengakses
internet atau mereka akrab menyebutnya dengan istilah “tinggal googling saja,”
termasuk untuk mendapatkan informasi dan pengetahuan mengenai agama.
Di satu
sisi, keberadaan internet ini dimanfaatkan oleh para terorisme untuk
menyebarkan paham-paham mereka, melakukan propaganda serta mencari dukungan
dari para pengguna internet tersebut. Sehingga, konten-konten keagamaan yang
disajikan oleh para teroris dapat dengan mudahnya diakses oleh para generasi
milenial.
“Saya
belajar otodidak dari berbagai grup whatsapp dan channel telegram,” adalah
jawaban dari Dita ketika ditanya dari mana ia mendapatkan informasi mengenai
ISIS. Sungguh sangat disanyangkan, bahwa sikap keberagamaan sebagian generasi
muda saat ini, didasarkan atas sumber rujukan yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan kebenarannya, baik secara akademis, maupun secara agama.
Padahal,
dalam sistem ajaran agama Islam, bahwa dalam mempelajari suatu ilmu itu harus
jelas sumber dan gurunya (sanad keilmuan) sehingga pertanggungjawabannya nampak
terlihat jelas. Di kalangan kaum santri, mereka paham betul dengan istilah yang
menyatakan: “barang siapa yang belajar ilmu namun tidak ada guru, maka gurunya
adalah setan.” Ungkapan tersebut berlaku bagi mereka yang ‘bodoh’ dalam
memahami ilmu-ilmu agama, khususnya dalam aspek syariat, sehingga aplikasi
dalam kesehariannya menjadi salah kaprah (M. Akmansyah, 2015).
Penafsiran
dan pemahaman keliru atas sumber dan teks-teks keagamaan dapat mendorong
seseorang menjadi radikal, lebih jauh lagi melakukan aksi teror terhadap
kemanusiaan dengan mengatasnamakan jihad. Artinya, pemahaman dan sikap
keberagamaan tidaklah akan cukup jika hanya mengandalkan informasi dan belajar sebatas
dari internet semata.
Lebih jauh,
beragama dalam konteks Keindonesiaan tidaklah dapat dinilai hitam-putih atau
halal-haram saja. Ada dimensi-dimensi lain yang harus dilibatkan dalam setiap
ibadah amaliyah sehari-hari, seperti halnya aspek spiritual atau tasawwuf,
sehingga dalam beragama kita menjadi rileks dan toleran, tidak tegang atau
saling serang.
Tasawwuf
sebagai Solusi Alternatif
Ajaran agama
Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad memiliki satu misi
utama, yaitu memberikan kedamaian dan keselamatan dimanapun dan kapanpun ia
berada. Islam bukanlah agama yang menakutkan, tidak pula untuk menakut-nakuti.
Kehadirannya harus memberikan rasa aman dan kedamaian bagi siapapun, baik yang
ada di dalamnya, maupun yang di luar. “Dan tidaklah aku mengutusmu melainkan
untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam semesta.” (al-Anbiyā’ : 107).
Islam juga
merupakan agama terbaik, yang memiliki karakteristik moderat, posisinya berada
di tengah-tengah. Islam bukanlah ekstrem kiri, bukan pula ekstrem kanan. Dengan
tegas al-Quran menyatakan: “Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu
(umat Islam), umat yang tengah, agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan)
manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu.” (QS
al-Baqarah : 143).
Dalam
prakteknya, sejarah menyatakan bahwa jalan kebenaran dan keselamatan yang ada
dalam agama Islam dapat ditempuh dengan banyak jalan: Pertama, dimensi syari`at
yang memiliki fokus pada ritual peribadatan yang bersifat legal-formal. Dan
kedua, dimensi hakikat yang menyertakan aspek spiritual ruhaniyah dalam
setiap amal perbuatan kesehariannya. Dimensi kedua inilah yang kemudian kita
sebut dengan istilah tasawwuf atau sufisme.
Dalam aspek
pemikiran, Islam juga memiliki banyak disiplin untuk menemukan kebenaran sejati,
seperti halnya ilmu kalam (teologi) dengan pendekatan jadalī (perdebatan teologis), filsafat Islam dengan pendekatan burhānī (demostratif – dalil rasional), dan juga mistisisme Islam dengan
pendekatan irfānī (pancaran). Kesemuanya menjadi khazanah keilmuan yang
menjadikan Islam sebagai agama yang ramah terhadap dunia pemikiran. Artinya,
jalan menemukan kebenaran dapat kita tempuh tidak hanya dari satu pintu,
melainkan banyak pintu menuju kebenaran.
Hal demikianlah yang tidak dipahami oleh mereka yang
menganut paham radikal. Mereka mengklaim
diri sebagai satu-satunya pihak yang merasa paling benar dalam beragama, di luar mereka
adalah salah dan patut untuk diperangi. Jelas, doktrin semacam itu adalah
keliru dan merupakan kesesatan yang paling nyata. Karena bagaimana pun,
masing-masing dari kita diberikan kehendak bebas untuk memilih jalan mana yang
hendak ditempuh untuk menggapai kebenaran tersebut. Yang pastinya, antara satu
jalan dengan jalan lainnya harus saling menghargai dan menghormati, karena
muaranya adalah kebenaran, kebaikan dan
kebahagiaan.
Tasawuf adalah jalan untuk menggapai kebenaran dan menolak
kepalsuan. Setidaknya kalimat tersebut merupakan definisi sederhana dari term
tasawwuf. Seseorang yang menempuh jalan tasawwuf akan menyertakan aspek
spiritualitas dalam setiap gerak langkah kehidupannya. Sehingga sebagian tokoh
juga ada yang mendefinisikan bahwa tasawwuf itu jalan untuk menyucikan jiwa
seseorang. Ciri utama seseorang yang menempuh jalan tasawwuf adalah ia nampak
sederhana dan tidak terbuai dengan kenikmatan dunia (zuhūd - asketis). Dulu
gaya hidup zuhūd merupakan kritik sosial atas fenomena keberagamaan yang
identik dengan kemewahan dan cinta dunia. Dari itu, mereka menggunakan pakaian
dari kulit domba sebagai sebuah simbol perlawanan atas praktek keagamaan yang
minus penghayatan spiritual.
Seseorang yang dalam agamanya hanya berpatokan pada aspek
ritual formal semata akan nampak ‘kaku’ dalam merespon berbagai gejala kehidupan
dan perubahan sosial. Ia akan terlihat ‘kaget’ ketika bertemu dengan perbedaan.
Beda halnya dengan orang yang menyertakan tasawwuf dalam kehidupannya, bahwa ia
paham tujuan dari beragama adalah berakhlak baik serta memberikan kebaikan bagi
sesama makhluk hidup. Karena bagaimanapun, Nabi Muhammad di samping ditugaskan
untuk mendakwahkan tauhid, ia jua memiliki tugas untuk memberikan suri tauladan
(uswatun hasanah) yang baik bagi manusia.
Imam Malik, seorang ulama besar pernah menyatakan arti
penting tasawwuf untuk menyempurnakan praktek keberagamaan. Tanpa tasawwuf,
maka seseorang akan tersesat dalam beragama. “Barangsiapa mempelajari
tasawwuf tanpa fikih, maka dia telah zindik. dan barangsiapa mempelajari fikih
tanpa tasawwuf dia tersesat, dan siapa yang mempelari tasawwuf dengan disertai
fikih, dia meraih kebenaran hakiki.”
Dengan tasawwuf, seseorang tidak akan lagi mempersoalkan
perbedaan yang sesungguhnya tidak prinsipil. Tasawwuf mengarahkan kita untuk
melakukan penghayatan secara mendalam atas ritual ibadah yang selama ini kita
jalankan. Puncak dari tasawwuf adalah tumbuhnya ma`rifat dan rasa
cinta (mahabbah) yang sangat dahsyat kepada Allah, sehingga di dalam
dirinya tidak ada sedikitpun ruang yang tersisa untuk membenci sesuatu.
Mungkin inilah yang kurang dari umat Islam Indonesia, yaitu
menjadikan tasawwuf sebagai sebuah jalan alternatif untuk menggapai kebenaran,
kebaikan dan kebahagiaan sejati. Jika memang benar kita kita telah menempuh
jalan tasawwuf, maka tidak akan ada lagi ancaman, kekerasan, teror, dan bom
bunuh diri atas nama agama. Yang ada hanyalah cinta dan kasih sayang kepada
Tuhan yang kemudian memancar secara utuh dan menyeluruh kepada segenap makhluk
yang ada di alam semesta ini, tanpa terkecuali.
Penutup
Berislam dalam konteks Keindonesiaan harus dipahami sebagai
suatu konsep yang integral tak terpisahkan. Bahwa kita dapat menjadi seorang
muslim sejati sekaligus menjadi warga negara yang baik, yang menjunjung
nilai-nilai keberagaman. Sikap saling menghargai dan menghormati atas ragam
perbedaan yang ada merupakan suatu keniscayaan yang harus dilakukan. Pemahaman
inilah yang harus masuk ke dalam pikiran dan relung hati yang terdalam bagi
setiap generasi muda Islam Indonesia. Sehingga dalam proses pencariannya, ia
tidak akan mudah terseret oleh arus doktrin-doktrin keagamaan yang dangkal dan
menyesatkan. Bukankah menghadirkan cinta kasih bagi sesama lebih utama
ketimbang menjual simbol agama untuk kepentingan kelompok semata?
Wallāhu A`lam
[Paper ini disampaikan pada acara Halaqah
Kebangsaan Bersama Generasi Millenial yang dilaksanakan oleh Kantor Staf
Presiden, Jakarta, Senin 04 Juni 2018]
0 komentar:
Posting Komentar