Oleh: Ramdhany
Kehidupan di dunia ini begitu sangat dinamis, terkadang kita berada dalam kondisi bahagia, berduka, sedih, senang, susah, dan gelisah. Hidup ini juga berbicara mengenai berbagi peran, terkadang mencintai, dicintai, menyayangi, disayangi, mengkhianati, dikhianati, memberi, diberi, dan lain sebagainya.
Hidup adalah tentang bagaimana kita menentukan pilihan mana yang harus kita ambil. Berbagai macam pilihan terhampar di hadapan kita, karena itu, kita harus pandai-pandai memilih pilihan yang tepat untuk kebaikan kita sendiri. Karena itu, hidup adalah memilih, bukan pilihan.
Hidup adalah serangkaian sistem kerja yang satu aktivitas berkaitan erat dengan aktivitas lainnya. Sistem kerja yang baik tentu didasarkan pada sistem nilai yang benar. Tanpa sistem nilai yang benar, kehidupan ini tidak akan berjalan sebagaimana mestinya. Dengan kata lain sistem nilailah yang menentukan baik buruknya alur cerita kehidupan ini.
Allah adalah sumber nilai. Allah adalah sumber nilai kebenaran, kebaikan, dan keindahan. Dialah yang Maha Benar, Maha Baik, dan Maha Indah. Dari itu, sudah menjadi suatu kepantasan dan kepastian bahwa pada dasarnya kita harus menjadikan Allah sebagai satu-satunya pegangan hidup.
Kita dituntut untuk mempercayakan dan memasrahkan kehidupan ini hanya kepadaNya. Dan itulah yang dinamakan bertauhid secara utuh dan menyeluruh.
Tidak bisa dipungkiri, pada dasarnya manusia adalah makhluk yang dianugrahi Allah dengan perasaan. Manusia adalah makhluk perasa, termasuk dapat merasakan getaran-getaran cinta yang bergejolak di dalam jiwa.
Mencinta adalah suatu keniscayaan bagi diri manusia yang sifatnya alamiah. Mau tak mau, suka tak suka, perasaan cinta terhadap sesuatu itu pasti adanya. Tidak ada satu pun manusia yang mampu untuk menolak kehadiran cinta, terkecuali jika sekiranya manusia itu mati rasa.
Lantas bagaimana cara kita untuk menyikapi rasa cinta tersebut, dan apa kaitannya antara tauhid, cinta, dan kesetiaan?
Cinta kepada sesuatu yang sifatnya material itu sesuangguhnya bersifat temporal dan hanya sesaat. Cinta seperti itu sudah dapat dipastikan rapuh dan tak utuh. Karena pada dasarnya, sesuatu yang material itu terbatas ruang dan waktu dan akan lekang dimakan usia.
Mencintai seseorang yang didasarkan atas keindahan fisiknya itu hanya berlaku sesaat, tidak akan abadi. Begitupun ketika kita mencintai kehidupan dunia ini, suatu saat dunia ini akan berkesudahan, dan dengan sendirinya cinta itu pun akan hancur lebur.
Cinta sejati nan abadi tentu harus ditujukan kepada sesuatu yang sejati dan abadi pula. Dan satu-satunya yang sejati dan abadi hanyalah Allah semata. Allah adalah Tuhan yang Maha Tunggal, yang dengan segala kemahaannya segala sesuatu yang terhimpun di alam semesta ini ada.
Cinta kepada Allah adalah ketika kita menjadikannya sebagai satu_satunya sandaran hidup. Kala kita dalam kegundahan dan kegelisahan, Dia-lah tempat yang pantas untuk kita 'curhati'. Saat kita merindu, jadikan Allah sebagai satu-satunya muara kerinduan tersebut,
Dari pemahaman seperti itu, akan muncul dalam jiwa kita suatu kesadaran bahwa diri ini hanyalah milik Allah. Dan saat diri ini milik Allah, maka kita harus jadikan Allah sebagai milik kita. Dari itu akan muncul perasaan saling mencintai antara diri manusia dengan Allah.
Saat kita mencintai Allah, maka apapun yang diinginkan oleh Allah akan kita penuhi. Semisal saat Allah meminta kita untuk berbuat baik kepada orang tua, maka permintaan itu akan kita penuhi, kita harus berbuat baik kepada orang tua.
Dan ketika Allah mencintai kita, maka segala bentuk permintaan kita, akan Allah kabulkan. Seumpama saat kita meminta kepadaNya rizki, maka Ia pasti akan memberikannya.
Pada akhirnya, ketika kita mencintai seseorang, jadikan Allah sebagai dasar atas rasa cinta tersebut. Katakanlah, bahwa "aku mencintaimu hanya karena aku mencintai Allah."
Tanda bukti seseorang mencintai sesuatu secara utuh adalah dengan kesetiaan. Kesetiaan adalah tolak ukur rasa cinta seseorang. Saat kita mencintai Allah, apakah kita akan setia kepadaNya. Kesetiaan dapat dilihat dari sejauh mana kita menunaikan segala bentuk kehendak dan keinginannya.
Duduk termenung sendiri saat menunggu yang tercinta datang menghampiri adalah salah satu bukti bahwa seseorang itu setia. Kesetiaannya diuji saat ia menunggu. Tapi jika saat itu ia berpaling, maka kesetiaannya pun diragukan, begitupun dengan cintanya.
Cinta dan kesetiaan adalah satu kesatuan yang utuh yang tidak dapat dipisahkan. Seseorang tidak dapat dikatakan mencinta saat ia tak setia. Sebaliknya, saat kesetiaan itu ada, disitulah cinta itu nyata.
Konsekuensi dari mencinta adalah bahwa ia harus setia, setia pada yang Satu. Saat seseorang mendua, kesetiaan itu tak pernah ada dalam dirinya.
Mencinta itu harus kepada yang Tunggal, dan itu adalah tauhid. Sedangkan mencinta kepada yang banyak adalah perlakuan musrik atau selingkuh, dan hal itu tidak dibenarkan.
Tauhid, cinta, dan kesetiaan adalah satu kesatuan yang utuh. Dan ketiga hal itu harus dimiliki oleh setiap insan yang mengaku sebagai sang pencinta.
Wallahu a'lam
Kehidupan di dunia ini begitu sangat dinamis, terkadang kita berada dalam kondisi bahagia, berduka, sedih, senang, susah, dan gelisah. Hidup ini juga berbicara mengenai berbagi peran, terkadang mencintai, dicintai, menyayangi, disayangi, mengkhianati, dikhianati, memberi, diberi, dan lain sebagainya.
Hidup adalah tentang bagaimana kita menentukan pilihan mana yang harus kita ambil. Berbagai macam pilihan terhampar di hadapan kita, karena itu, kita harus pandai-pandai memilih pilihan yang tepat untuk kebaikan kita sendiri. Karena itu, hidup adalah memilih, bukan pilihan.
Hidup adalah serangkaian sistem kerja yang satu aktivitas berkaitan erat dengan aktivitas lainnya. Sistem kerja yang baik tentu didasarkan pada sistem nilai yang benar. Tanpa sistem nilai yang benar, kehidupan ini tidak akan berjalan sebagaimana mestinya. Dengan kata lain sistem nilailah yang menentukan baik buruknya alur cerita kehidupan ini.
Allah adalah sumber nilai. Allah adalah sumber nilai kebenaran, kebaikan, dan keindahan. Dialah yang Maha Benar, Maha Baik, dan Maha Indah. Dari itu, sudah menjadi suatu kepantasan dan kepastian bahwa pada dasarnya kita harus menjadikan Allah sebagai satu-satunya pegangan hidup.
Kita dituntut untuk mempercayakan dan memasrahkan kehidupan ini hanya kepadaNya. Dan itulah yang dinamakan bertauhid secara utuh dan menyeluruh.
Tidak bisa dipungkiri, pada dasarnya manusia adalah makhluk yang dianugrahi Allah dengan perasaan. Manusia adalah makhluk perasa, termasuk dapat merasakan getaran-getaran cinta yang bergejolak di dalam jiwa.
Mencinta adalah suatu keniscayaan bagi diri manusia yang sifatnya alamiah. Mau tak mau, suka tak suka, perasaan cinta terhadap sesuatu itu pasti adanya. Tidak ada satu pun manusia yang mampu untuk menolak kehadiran cinta, terkecuali jika sekiranya manusia itu mati rasa.
Lantas bagaimana cara kita untuk menyikapi rasa cinta tersebut, dan apa kaitannya antara tauhid, cinta, dan kesetiaan?
Cinta kepada sesuatu yang sifatnya material itu sesuangguhnya bersifat temporal dan hanya sesaat. Cinta seperti itu sudah dapat dipastikan rapuh dan tak utuh. Karena pada dasarnya, sesuatu yang material itu terbatas ruang dan waktu dan akan lekang dimakan usia.
Mencintai seseorang yang didasarkan atas keindahan fisiknya itu hanya berlaku sesaat, tidak akan abadi. Begitupun ketika kita mencintai kehidupan dunia ini, suatu saat dunia ini akan berkesudahan, dan dengan sendirinya cinta itu pun akan hancur lebur.
Cinta sejati nan abadi tentu harus ditujukan kepada sesuatu yang sejati dan abadi pula. Dan satu-satunya yang sejati dan abadi hanyalah Allah semata. Allah adalah Tuhan yang Maha Tunggal, yang dengan segala kemahaannya segala sesuatu yang terhimpun di alam semesta ini ada.
Cinta kepada Allah adalah ketika kita menjadikannya sebagai satu_satunya sandaran hidup. Kala kita dalam kegundahan dan kegelisahan, Dia-lah tempat yang pantas untuk kita 'curhati'. Saat kita merindu, jadikan Allah sebagai satu-satunya muara kerinduan tersebut,
Dari pemahaman seperti itu, akan muncul dalam jiwa kita suatu kesadaran bahwa diri ini hanyalah milik Allah. Dan saat diri ini milik Allah, maka kita harus jadikan Allah sebagai milik kita. Dari itu akan muncul perasaan saling mencintai antara diri manusia dengan Allah.
Saat kita mencintai Allah, maka apapun yang diinginkan oleh Allah akan kita penuhi. Semisal saat Allah meminta kita untuk berbuat baik kepada orang tua, maka permintaan itu akan kita penuhi, kita harus berbuat baik kepada orang tua.
Dan ketika Allah mencintai kita, maka segala bentuk permintaan kita, akan Allah kabulkan. Seumpama saat kita meminta kepadaNya rizki, maka Ia pasti akan memberikannya.
Pada akhirnya, ketika kita mencintai seseorang, jadikan Allah sebagai dasar atas rasa cinta tersebut. Katakanlah, bahwa "aku mencintaimu hanya karena aku mencintai Allah."
Tanda bukti seseorang mencintai sesuatu secara utuh adalah dengan kesetiaan. Kesetiaan adalah tolak ukur rasa cinta seseorang. Saat kita mencintai Allah, apakah kita akan setia kepadaNya. Kesetiaan dapat dilihat dari sejauh mana kita menunaikan segala bentuk kehendak dan keinginannya.
Duduk termenung sendiri saat menunggu yang tercinta datang menghampiri adalah salah satu bukti bahwa seseorang itu setia. Kesetiaannya diuji saat ia menunggu. Tapi jika saat itu ia berpaling, maka kesetiaannya pun diragukan, begitupun dengan cintanya.
Cinta dan kesetiaan adalah satu kesatuan yang utuh yang tidak dapat dipisahkan. Seseorang tidak dapat dikatakan mencinta saat ia tak setia. Sebaliknya, saat kesetiaan itu ada, disitulah cinta itu nyata.
Konsekuensi dari mencinta adalah bahwa ia harus setia, setia pada yang Satu. Saat seseorang mendua, kesetiaan itu tak pernah ada dalam dirinya.
Mencinta itu harus kepada yang Tunggal, dan itu adalah tauhid. Sedangkan mencinta kepada yang banyak adalah perlakuan musrik atau selingkuh, dan hal itu tidak dibenarkan.
Tauhid, cinta, dan kesetiaan adalah satu kesatuan yang utuh. Dan ketiga hal itu harus dimiliki oleh setiap insan yang mengaku sebagai sang pencinta.
Wallahu a'lam
0 komentar:
Posting Komentar