Dimuat di Nusaantara.com
Saat melakukan rapat terbatas dengan
Kabinet Indonesia Bersatu jilid II (14/9/2014) tentang masalah perkembangan Islamic State of Iraq and Siria (ISIS),
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) terlebih dahulu menerima laporan dari Menko
Polhukam Djoko Suyanto, Mendagri Gamawan Fauzi, Mensesneg Sudi Silalahi, dan
Seskab Dipo Alam, tentang perkembangan wacana pembahasan Rancangan
Undang-Undang (RUU) Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang akhir-akhir ini
mendapatkan sorotan tajam dari masyarakat.
SBY pun akhirnya angkat bicara mengenai
wacana pembahasan RUU Pilkada tersebut. Dalam menyikapi dua mainstream yang pro dan kontra terhadap
RUU Pilkada, yaitu kelompok yang menginginkan pilkada langsung dipilih oleh
rakyat dan pilkada yang dilakukan melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD),
SBY menyatakan bahwa sekarang saatnya menetapkan sebuah sistem yang tepat dan
kokoh, dan tentunya sistem yang sesuai dengan semangat reformasi.
"Tatanan demokrasi harus tepat
dengan semangat reformasi, tentu dengan meminimalkan ekses yang ada. Tentu kita
kembali kepada semangat refromasi, juga mesti melihat penyimpangan yang
terjadi. Itulah yang kita letakan dalam satu zona untuk mendapatkan kira-kira
apa opsi atau solusi yang akan kita tuangakan dalam sistem dan kemudian
undang-undang yang berlaku ke depan."
Pernyataan SBY tersebut mengisyaratkan
bahwa pada dasarnya sistem demokrasi yang dianut oleh Indonesia tentu harus
berkesesuaian dengan semangat reformasi. Karena bagaimana pun, semangat reformasi
adalah pintu gerbang terwujudnya demokratisasi dalam kehidupan perpolitikan
Indonesia.
Semangat dan gerakan reformasi
memberikan sebuah perubahan yang berkaitan dengan implementasi nilai-nilai
politik demokrasi yang dilakukan melalui serangkaian perancangan ulang
mekanisme perundang-undangan, pola hubungan dan proses politik sesuai dengan
nilai-nilai demokrasi.
Muluk (2007), menyatakan bahwa pada
dasarnya semangat reformasi mengandaikan adanya suatu pemerintahan yang
melibatkan rakyat secara langsung. Karena sebelumnya, sentralisasi pemerintahan
sama sekali tidak melibatkan rakyat dalam hal apa pun. “Desentralisasi membawa
pemerintah untuk lebih dekat kepada masyarakat karena ia mampu meningkatkan
kebebasan, persamaan dan kesejahteraan. Desentralisasi memberikan landasan bagi
partisipasi warga dan kepemimpinan politik baik untuk tingkat lokal maupun
nasional.”
Pernyataan tersebut memberikan pahaman
bahwa partisipasi rakyat secara langsung pada aspek politik merupakan buah dari
semangat gerakan reformasi dan demokrasi. Artinya, keterlibatan dan
keikutsertaan masyarakan dalam ajang pemilihan umum di berbagai tingkatan –
baik lokal maupun nasional — merupakan bagian dari cita-cita reformasi.
* * *
Namun demikian, setelah perjalanan
pilkada secara langsung selama 10 tahun terakhir ini dirasa tidak efektif dan
efesien. Banyak yang menilai bahwa ketika pilkada tersebut dilakukan secara
langsung, pemerintah pusat harus mengeluarkan dana yang tidak sedikit. Dari
data yang dilansir oleh Kementerian Dalam Negeri, negara harus mengeluarkan
dana sebesar Rp 70 triliun untuk pelaksanaan 235 Pilkada kabupaten/kota pada
2015 mendatang.
Terlebih bahwa dampak dari pemilu secara
langsung di tingkatan daerah menyebabkan maraknya praktek kekerasan antar
pendukung calon, praktek politik uang (money
politic), dan praktek pidana korupsi yang dilakukan oleh beberapa kepala
daerah.
Hal itulah yang menyebabkan 5 fraksi di
Komisi II DPR RI – Fraksi Partai Golkar (FPG), Fraksi Partai Keadilan Sejahtera
(FPKS), Fraksi Partai Gerindra, Fraksi Partai Amanat Nasional (FPAN), dan
Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (FPPP) – telah setuju pada pendapat yang
menyatakan bahwa pemilihan kepala daerah tersebut dilakukan melalui DPRD.
Prihal opsi dan solusi yang ditawarkan
oleh Presiden SBY adalah pertama, menyetujui adanya pilkada langsung oleh
rakyat. Menurut SBY, sistem Pilkada langsung ini sudah berjalan selama 10 tahun
dan segaris dengan sistem presidensil, di mana presiden dipilih secara
langsung. Berbeda dengan sistem parlementer dimana presiden dipilih melalui
parlemen.
"Dengan demikian kalau kita kembali
pada pilihan kita buah dari reformasi yang kita jalankan selama ini tentunya
pilihan kepala daerah langsung itu mesti kita jaga dan pertahankan."
SBY memberikan catatan bahwa dalam
pilkada langsung tersebut undang-undang
harus dengan tegas menyatakan bahwa setiap bentuk pelanggaran yang terkait
dengan pelaksanaan pilkada baik itu menyangkut kekerasan fisik maupun politik
uang (money politic) yang dilakukan
oleh para pendukung atau tim pemenangan harus dibebankan kepada calon kepala
daerah yang bersangkutan.
Kedua, pilkada langsung hanya berlaku
bagi tingkat kabupaten dan kota, sedangkan tingkat provinsi diberlakukan sistem
pemilihan oleh DPRD. Karena jabatan gubernur merupakan kepanjangan tangan dari
pemerintahan pusat.
*
* *
Baik pilkada langsung maupun tidak
langsung, masing-masing memiliki kekurangan dan kelebihannya. Tetapi tentu
keduanya haruslah berkesesuaian dengan prinsip dasar negara dan semangat
reformasi.
Jika seandainya pilkada dilaksanakan
secara langsung oleh rakyat tapi setelah itu memberikan dampak yang negatif,
apakah hal tersebut masih layak disebut sebagai daulat rakyat? Sebaliknya,
keterwakilan rakyat di parlemen untuk memilih kepala daerahnya, apakah hal
tersebut tidak mencerminkan nilai-nilai demokrasi?
Karena bagaimana pun dalam dasar negara
sila keempat menyebutkan bahwa kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. Bersandar pada sila tersebut,
tentu kepala daerah yang dipilih melalui wakil rakyat di parlemen tentu tidak
bertentangan dengan nilai-nilai kepribadian bangsa.
Kita tentu hanya bisa berharap kepada
para wakil rakyat yang bersemayam di Senayan untuk dapat menetapkan kebijakan
perundang-undangan prihal pilkada demi terwujudnya kemaslahatan bagi seluruh
rakyat Indonesia, bukan kepentingan pribadi atau partai semata.
*Ramdhany
Ketua
Umum HMI Komfuf Cabang Ciputat Periode 2012-2013, dan Penggiat Kajian Piush
0 komentar:
Posting Komentar