BER-HMI: Menghidupkan Kembali Tradisi Intelektual HMI Cabang Ciputat


Oleh: Ramdhany
1.      Pendahuluan
Mungkin pernah di satu waktu dalam benak kita muncul beberapa pertanyaan prihal organisasi ini. Atas dasar apa kita ber-HMI, apa manfaat ber-HMI, apa yang sedang diperjuangkan HMI, dan bagaimana cara untuk mewujudkan perjuangan itu?
Bagi kader yang pernah memunculkan pertanyaan-pertanyaan seperti itu mungkin pernah merasakan kegelisahan dan kegalauan yang sangat luar biasa karena berusaha untuk menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut. Dan memang sudah tentu bahwa tidaklah mudah untuk memastikan jawaban yang benar dan memuaskan.
Saat pertanyaan itu belum dapat terjawab, dampaknya adalah dalam menjalani aktivitas berorganisasi terasa kosong dan hampa, tidak jelas arah tujuan yang hendak kita tuju, dan terjebak dalam pusaran ketidakpastian yang teramat dalam. Hal itu tak ubahnya seperti manusia yang sama sekali tidak mengetahui jati dirinya, tidak tahu apa yang hendak ia lakukan dan tidak tahu ia akan berlabuh pada tujuan dermaga yang mana.
Mengetahui asal-usul dan tujuan itu sangat penting demi terciptanya sebuah arah yang jelas dan pasti. Saat asal-usul dan tujuan tersebut terjawab, maka ketersesatan yang pernah dialami oleh kaum-kaum terdahulu tidak akan mungkin hinggap pada jasad organisasi ini.
Lantas kemudian apa yang sebenarnya yang menjadi asal-usul lahirnya HMI, dan apa tujuan dari HMI tersebut. Dalam tulisan yang sederhana ini, saya akan mencoba untuk menguraikan beberapa hal yang sifatnya mendasar tentang sesuatu yang berkaitan erat dengan jati diri HMI. Hal ini dilakukan dalam upaya memberikan sebercak cahaya untuk menuntun arah perjuangan kita sebelum lebih jauh melangkah.
Kemudian, dalam kaitannya dengan HMI, Cabang Ciputat sebagai salah satu cabang yang telah berhasil membuktikan dirinya sebagai cabang yang konsen dalam wilayah intelektualitas-akademis, sebenarnya dalam konteks kekinian memposisikan diri dalam situasi yang seperti apa?
2.      Ber-HMI
A.    Landasan Konstitusional HMI
Sebagai sebuah organisasi modern, HMI memiliki pijakan yang kuat dan kokoh, yaitu Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART) yang merupakan hasil dari konsensus di Kongres per dua tahun sekali. Ber-HMI berarti menjalankan AD ART dengan penuh ketaatan dan kepatuhan. Taat dan patuh kepada AD ART HMI hukumnya wajib bagi setiap kader atau anggotanya.
Ketaatan dan kepatuhan kepada AD ART tersebut berkonsekuensi pada taat dan patuh atas apa yang terkandung didalamnya, tanpa terkecuali. Andaikan saja ada satu elemen penting di dalam AD ART yang tidak kita patuhi, berarti kita telah melakukan suatu kesalahan fatal. Seperti saat di dalam AD diperintahkan untuk bersifat independen, tetapi pada nyatanya kita menggadaikan diri kepada sesuatu yang rapuh dan tak utuh, maka hal tersebut berarti telah melanggar prinsip-prinsip atau ketentuan-ketentuan dasar. Dan hal tersebut haram hukumnya dilakukan oleh setiap individu yang menyatakan dirinya sebagai kader atau anggota HMI.
Di dalam AD, terdapat prinsip-prinsip dasar yang menjadi penopang hidupnya organisasi ini, seperti landasan dasar, landasan ideologi, dan tujuan. Dasar HMI adalah Islam, idiologi HMI adalah Nilai-Nilai Dasar Perjuangan, dan tujuan HMI diakumulasikan dalam suatu realitas yang dinamakan insan cita.
B.     Islam: Landasan Ontologi HMI
Ruh yang menjadi dasar dan menjiwai hidupnya HMI adalah Islam. Islam yang diwahyukan oleh Tuhan yang Maha Benar kepada Muhammad yang kemudian diajarkan kepada seluruh umat manusia. Islam adalah 'jalan lurus' yang telah ditetapkan oleh Allah sebagai sarana untuk mencapai kebenaran yang hakiki.
Anggaran Dasar Himpunan Mahasiswa Islam pasal 3 menyebutkan “Organisasi ini berazazkan Islam”. Dasar organisasi merupakan Sumber motivasi, pembenaran dan ukuran bagi gerak-langkah organisasi itu. Karena kwalitas inilah maka HMI selain merupakan oganisasi kemahasiswaan jang memperhatikan “students need & students interest” djuga meruapakan suatu organisasi perdjuangan jang mengemban suatu “mission sacree”. Setjara ringkas dapat dikatakan bahwa tugas sutji HMI ialah berusaha mentjiptakan masjarakat jang adil dan sedjahtera. Secara ringkas jang mendjadi dasar perdjuangannja memuat adjaran pokok bahwa “Sesungguhnja Allah memerinahkan akan Keadilan dan Ihsan (usaha perbaikan masjarakat)”.[1]
Kemudian muncul di dalam benak kita prihal pertanyaan Islam yang dimaksud di dalam AD tersebut Islam yang seperti apa? Ahlu Sunnah kah, Mu'tazilah kah, Asy'ariyah kah, Syi'ah kah, NU kah, Muhammadiyah kah, Persis kah, atau aliran Islam yang lainnya?
Untuk menjawab pertanyaan itu, maka yang dimaksud Islam oleh HMI adalah Islam yang didasarkan atas Al-Qur'an dan al-Hadits. Islam memiliki pengertian tunduk dan pasrah secara utuh dan menyeluruh kepada Realitas Tertinggi, Kebenaran Mutlaq, yaitu Allah Subhanahu wata'ala.  Islam adalah agama yang benar.. Karena sikap tunduk dan patuh tersebut merupakan inti dari ajaran semua para nabi dan rasul, dari Adam sampai Muhammad. Maka tidak heran, jika seandainya di dalam al-Qur'an disebutkan bahwa Ibrahim, Nuh, Ya'qub dan lainnya membawa misi dan mengajarkan ajaran Islam.
Karena itu, ulama klasik, seperti Ibn Taymiyah, misalnya, menegaskan bahwa agama semua Nabi adalah sama dan satu, yaitu Islam. Meskipun syari'atnya berbeda-beda sesuai dengan zaman dan tempat khusus masing-masing nabi itu.[2]
Dari itu, Islam adalah agama yang menyejarah secara berkelanjutan. Peran penting Muhammad sebagai utusan terakhir adalah sebagai penyempurna atas ajaran-ajaran para nabi dan rasul terdahulu. Karena dalam perjalanan sejarahnya, Islam berkembang dan tumbuh, yang pada akhirnya mencapai titik kesempurnaan di tangan Muhammad, Sang Rasul penghabisan.
Maka tidaklah salah dalam al-Qur'an dinyatakan bahwa agama yang (benar) di sisi Allah adalah Islam. Karena Islam adalah agama kepasrahan dan ketundukan hanya kepada Allah, bukan kepada selain-Nya.
Islam sendiri sebagai suatu entitas keagamaan merupakan suatu agama yang melalui Kitab Sucinya dengan tegas mengakui hak agama-agama lain, kecuali yang berdasarkan paganisme atau syirik, untuk hidup dan menjalankan ajaran masing-masing dengan penuh kesungguhan. Kemudian pengakuan akan hak agama-agama lain itu dengan sendirinya merupakan dasar paham kemajemukan sosial-budaya dan agama, sebagai ketetapan Tuhan yang tidak berubah-ubah.
Memang, seharusnya tidak perlu mengherankan bahwa Islam selaku agama besar terakhir mengklaim sebagai agama yang memuncaki proses pertumbuhan dan perkembangan agama-agama dalam garis kontinuitas tersebut. Tetapi harus diingat bahwa justru penyelesaian terakhir yang diberikan oleh Islam sebagai agama terakhir untuk persoalan keagamaan itu ialah ajaran pengakuan akan hak agama-agama lain untuk berada dan dilaksanakan.
Karena itu tidak saja agama tidak boleh dipaksakan, bahkan Al-Quran juga mengisyaratkan bahwa para penganut berbagai agama, asalkan percaya kepada Tuhan dan Hari Kemudian serta berbuat baik, semuanya akan selamat.
HMI menjadikan Islam sebagai azas. Azas berarti dasar. artinya, landasan dasar keberorganisasiannya didasari atas nilai-nilai ke-Islam-an. Islam yang senantiasa memberikan energi perubahan mengharuskan para penganutnya untuk melakukan invonasi, internalisasi, eksternalisasi maupun obyektifikasi. Dan yang paling fundamental peningkatan gradasi umat diukur dari kualitas keimanan yang datang dari kesadaran paling dalam bukan dari pengaruh eksternal. Perubahan bagi HMI merupakan suatu keharusan, dengan semakin meningkatnya keyakinan akan Islam sebagai landasan teologis dalam berinteraksi secara vertikal maupun horizontal, maka pemilihan Islam sebagai azas merupakan pilihan dasar dan bukan implikasi dari sebuah dinamika kebangsaan.
Tugas suci HMI diarahkan pada aspek ke-Islam-an dan ke-Indonesia-an, HMI menjadikan Islam sebagai doktrin yang mengarahkan pada peradaban secara integralistik, trasedental, humanis, inklusif dan universal. Bagi HMI, Islam dipandang sebagai Agama yang kosmopolis, artinya agama yang membawa nilai-nilai universal bagi kemanusiaan. Islam selalu relevan atas dimensi ruang dan waktu. dimanapun dan kapanpun, Islam akan selalu menyesuaikan diri dalam keberadaannya. Islam selalu berdamai dengan siapapun, maka dari itu Islam diyakini sebagai suatu agama yang berkesesuaian dengan nilai-nilai kemanusiaan. Ia menjadi rahmat bagi semuanya, termasuk bagi Indonesia.
Dengan demikian kader HMI harus berani menanamkan dan menegakkan nilai-nilai kebenaran dan keadilan serta prinsip-prinsip kemanusiaan tanpa melihat perbedaan keyakinan dan primordial. Kemudian, kader HMI harus bisa mendorong atas terciptanya penghargaan Islam sebagai sumber kebenaran yang paling hakiki dan universal.
Islam sebagai sebuah tata nilai merupakan agama  yang diperuntukan bagi seluruh umat manusia. Artinya, Islam mempunyai sifat universal atau menyeluruh. Tentunya, setiap apapun yang ditawarkan oleh Islam jangan bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan. Islam harus bersinkronisasi serta konsisten dalam menjungjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan itu.
Konsekuensi logis dari keuniversalan Islam adalah bahwa ia harus selalu relevan dengan zaman serta harus bersahabat dengan ruang dimana ia singgah. jika tidak, maka gugurlah pernyataan bahwa Islam adalah agama yang universal. keuniversalan itu dibahasakan dengan pernyataan “rahmatan lil `alamīn” (menjadi rahmat bagi seluruh alam).
Dalam kontek Indonesia, Islam telah hadir sebagai agama yang terus selalu mengawal perjuangan kemerdekaan bangsa ini, baik pada pra-kemerdekaan maupun setelah kemerdekaan.
Bagi Indonesia, Islam tidak dipandang sebagai sebuah ajaran yang bersifat legal-formal, akan tetapi idea-moral yang memiliki nilai-nilai luhur yang terkandung  di dalamnya mampu untuk mempersatukan serta menjadi sumber semangat atas perjuangan melawan setiap bentuk penjajahan.
Di dalam pembukaan Undang-undang Dasar dinyatakan bahwa “penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan pri-kemanusiaan dan pri-keadilan”. Sudah sangat jelas bahwa Islam membawa dan menjungjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan serta keadilan sosial. dengan kata lain, islam telah mengangkat bendera perang bagi siapa saja yang bermaksud menjajah dan menindas.
Islam mengajarkan bahwa kita harus membela dan memerdekan manusia/kaum yang terjajah dan yang tertindas. dan dari sinilah Islam menjadi spirit bagi bangsa Indoneia dalam setiap pola tindakan yang mengusung nilai perjuangan.
Dalam aspek lain, nilai-nilai ke-Islaman diwujudkan dalam sebuah landasan dasar berbangsa dan bernegara, yaitu Pancasila. Ada lima unsur yang terkandung di dalamnya, yaitu Nilai ketuhanan yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan, musyawarah mufakat serta kesejahtraan dan keadilan sosial. Kesemuanya itu merupakan turunan dari nilai-nilai yang terkandung di dalam al-Qur`an sebagai kitab sakti bagi umat manusia.
Islam itu bukan Arab, Arab itu bukan Indonesia. Tapi, Jika sekiranya kita ingin melihat Islam yang seutuhnya, maka tengoklah Bumi Pertiwi ini. Tanah yang menghampar di bumi katulistiwa
C.    NDP: Landasan Ideologi HMI
Memahami Islam secara utuh dan menyeluruh tentu bukanlah pekerjaan yang sangat gampang. Butuh keyakinan dan pemikiran yang serius untuk dapat memahaminya. Karena mau tidak mau, memahami Islam secara utuh harus merujuk kepada sumber yang utuh pula, yaitu al-Qur'an. Di saat kita telah mampu untuk memahami al-Qur'an secara utuh dan menyeluruh, maka saat itu pula akan tumbuh jiwa keislaman di dalam jiwa kita.
Maka tidak heran ketika Cak Nur (panggilan akrab Nurcholis Madjid) menyatakan bahwa sebetulnya tidak ada masalah apabila kita sebagai orang muslim berpedoman pada ajaran Islam, memandang segala sesuatu dari sudut ajaran Islam, termasuk masalah-masalah kemasyarakatan dan kenegaraan.[3]
Dari itu, untuk memudahkan para kader HMI untuk dapat memahami ajaran Islam, pada kongres ke IX di Malang, 17 September 1966, Nilai-Nilai Dasar Perjuang (NDP) dikukuhkan sebagai landasan ideologi. NDP tersebut dijadikan ruh yang menjiwai semangat perjuangan HMI. Dan tanpa NDP, mungkin HMI hanya merupakan 'mayat hidup' yang tak berarti apa-apa.
NDP adalah sekumpulan nilai-nilai yang berkaitan erat dengan wilayah ketuhanan, kemanusiaan, dan kemasyarakat. Muatan NDP meliputi hal-hal yang mendasar dari setiap persoalan yang dihadirkan.
Sebagi landasan ideologi, NDP tentunya tidak hadir dari ruang hampa dan kosong. Ia merupakan hasil dari renungan dan perjalanan yang panjang. NDP dirumuskan dalam rangka memberikan pemahaman atas prinsip-prinsip dasar agama Islam. Karenanya, NDP adalah sebuah turunan dari apa yang dijadikan pedoman oleh Islam, yaitu al-Qur'an. Ya, NDP adalah prodak pemikiran yang pada dasarnya bersumber dari kitab suci al-Qur'an.
Secara esensial, al-Qur'an berfungsi sebagai petunjuk (Hudâ) bagi seluruh umat manusia yang ada di muka bumi. Sebagai petunjuk, tentunya al-Qur'an menunjukan kepada manusia tentang jalan kebenaran dan kebaikan. Al-Qu'ran mengajarkan kepada manusia tentang nilai-nilai ketauhidan, kemanusiaan, dan kemasyarakatan.
Dalam konteks ketauhidan, intinya adalah al-Qur'an mengajarkan kepada kita bahwa hanya Allah yang Maha Esa lah satu-satunya yang pantas untuk dipertuhankan. Ajaran tentang tauhid ini menjadi sesuatu yang sangat mendasar, kerena berkaitan erat dengan aspek keimanan seseorang. Dengan tauhid, manusia akan terbebas dari setiap belenggu yang menjeratnya. Dan hanya melalui tauhidlah manusia akan mendapatkan kemerdekaannya.
Tauhid berasal dari bahasa Arab yang merupakan bentuk ketiga dari asal kata wahhadayuwahhidutawhîdan yang berarti pengesaan atau penunggalan. Dalam hal ini tauhid berarti meyakini bahwa Tuhan itu Esa dan tidak ada satu pun yang menyerupai Tuhan. Kepercayaan ini menjadi syarat utama dan paling utama bagi seseorang yang disebut Muslim. Tuhan diyakini sebagai Kebenaran Mutlak yang menjadi sebab asal usul keberadaan segala sesuatu di alam semesta ini. Kepercayaan seperti ini dieksprsikan dalam satu kalimat proposisi lâ ilâh illâ Allâh.   
Sebagai istilah teknis dalam ilmu kalam, menurut Cak Nur, kata-kata tauhid adalah paham “me-Maha-Esa-kan Tuhan,” atau “Monoteisme”. Meskipun bentuk harfiah kata-kata “ tauhid ” itu sendiri tidak terdapat dalam Al-Quran yang ada ialah kata-kata “ahad” dan “wahîd”) istilah ciptaan kaum mutakallim (teolog) itu secara tepat telah mengungkapkan isi pokok ajaran Al-Quran itu sendiri, yaitu ajaran tentang “me-Maha-Esa-kan Tuhan” itu.[4]
Pokok pangkal kebenaran universal yang tunggal itu ialah paham Ketuhanan Yang Maha Esa, atau tauhid. Lanjutnya, tugas para rasul ialah menyampaikan ajaran tentang tauhid ini, serta ajaran tentang keharusan manusia tunduk patuh hanya kepada-Nya saja.
Berdasarkan paham ke-tauhid-an inilah, Al-Quran mengajarkan paham kemajemukan keagamaan (religious plurality). Tapi, katanya, ajaran itu tidak perlu diartikan sebagai secara langsung pengakuan akan kebenaran semua agama dalam bentuknya yang nyata sehari-hari. Sebabnya ajaran kemajemukan keagamaan itu menandaskan pengertian dasar bahwa semua agama diberi kebebasan hidup, dengan risiko yang akan ditanggung para pengikut agama itu masing-masing, baik secara pribadi maupun secara kelompok.
Bagi umat Islam, konsep lâ ilâh illâ Allâh itu menjadi semacam “teologi pembebasan”. Tetapi tentu saja kita harus berhati-hati menggunakan istilah yang terakhir ini, sebab “teologi pembebasan” yang biasa diasosiasikan dengan Amerika Latin identik dengan Marxisme. Ketika para pastur dan pendeta di sana tidak lagi melihat jalan lain untuk membebaskan rakyat Amerika Latin dari penindasan, mereka lalu membuat interpretasi Marxis terhadap ajaran-ajaran Kristen, terutama Katolik, maka disebut teologi pembebasan. Karena itu pula, salah satu unsur kekatolikan adalah penguasaan atas tanah-tanah oleh gereja. Dalam Islam, pembebasan dimulai dari konsep lâ ilâh illâ Allâh, yaitu bahwa untuk menjadi orang yang benar kita harus lebih dulu membebaskan diri dari kecenderungan untuk menyucikan setiap objek di depan kita; bahwa semua itu tidak suci, dalam arti tidak tabu dan tertutup, dan karena itu tidak boleh diletakkan lebih tinggi dari diri kita sendiri. Di sini, kita harus benar-benar hati-hati, sebab problem manusia bukanlah tidak percaya kepada tuhan, tetapi percaya kepada tuhan yang salah atau percaya kepada tuhan secara salah.
Dalam konteks kemanusiaan, al-Qur'an mengajarkan kepada manusia tentang nilai-nilai kemerdekaan. Manusia sejati adalah manusia yang sadar bahwa ia adalah makhluk yang merdeka. Kemerdekaan adalah potensi dasar yang dimiliki oleh manusia. Kemerdekaan manusia merupakan konswekuensi logis ketika manusia tersebut telah mampu menjadikan tauhid sebagai landasan keimanannya.
Dalam konteks kemasyarakatan, al-Qur'an mengajarkan manusia tentang nilai-nilai kebaikan dan keadilan. Manusia merdeka akan senantiasa berbuat sesuatu yang baik kepada sesamanya, dimanapun dan kapanpun. Kebaikan pribadi itulah yang nantinya akan menciptakan tatanan masyarakat yang adil dan sejahtera. Tanpa kebaikan individu, mustahil rasanya akan tercipta realitas masyarakat yang adil.
D.    Insan Cita: Landasan Filosofis HMI
Dalam mistisisme, secara umum insan kamil dilukiskan sebagai sesosok manusia yang memperlihatkan kualitas kebajikan moral yang pada gilirannya melukiskan sufat-sifat Allah pada derajat yang paripurna. Manusia sempurna melambangkan kemungkinan terjauh dari perkembangan pemahaman manusia, baik pemahaman, kasih-sayang, dan pertumbuhan spiritualnya, yang berperan menjembatani manusia dan Tuhan.[5] Dengan defenisi serupa, HMI lalu mencita-citakan manusia sempurna dengan sebutan yang mirip insan kamil, yakni insan cita.
Insan cita merupakan suatu penamaan bagi manusia dari segi kualitatif. sifat-sifat yang ideal secara dasariah harus dimiliki oleh setiap kader HMI. Kualitas insan cita HMI adalah merupakan dunia cita yang terwujud oleh HMI  di dalam pribadi seorang manusia yang beriman dan  berilmu pengetahuan serta mampu melaksanakan tugas kerja kemanusiaan. Kualitas tersebut sebagaimana dalam pasal tujuan adalah sebagai berikut :
a.       Kualitas Insan Akademis
b.      Kualitas Insan Pencipta
c.       Kualitas Insan Pengabdi :
d.      Kualitas Insan yang  bernafaskan Islam
e.       Kualitas Insan bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhoi oleh Allah SWT
          Pada pokoknya insan cita HMI merupakan “man of future” insan pelopor yaitu insan yang berfikiran luas dan  berpandangan jauh, bersikap terbuka, terampil atau ahli dalam bidangnya, dia sadar apa yang menjadi cita-citanya dan tahu bagaimana mencari ilmu perjuangan untuk secara kooperatif bekerja sesuai dengan yang dicita-citakan. Tipe ideal dari hasil perkaderan HMI adalah “man of inovator” (duta-duta pembantu). Penyuara “idea of progress” insan yang berkeperibadian imbang dan padu, kritis, dinamis, adil dan jujur tidak takabur dan bertaqwa kepada Allah Allah SWT. Mereka  itu manusia-manusia uang beriman berilmu dan mampu  beramal  saleh dalam kualitas yang maksimal (insan kamil) .[6]
3. HMI dalam Bingkai Keindonesiaan
Rasanya tidak terlalu berlebihan jika seandainya penulis berasumsi bahwa Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) merupakan realitas kecil dari negara-bangsa Indonesia. Turunan dari asumsi tersebut adalah jika seandainya HMI selamat maka selamatlah Indonesia, dan jika HMI bermasalah maka bermasalah pula Indonesia, dan seterusnya.
Kenyataan di lapangan, HMI telah membuktikan bahwa ia telah mampu memberikan kontribusi besar dalam perjalanan Indonesia dari sejak awal kemerdekan sampai kini di era Reformasi. Para anggota-kader HMI di awal kemerdekaan mengangkat senjata untuk mempertahankan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia, menjungjung tinggi harkat dan martabat umat muslim dengan cara menanamkan nilai-nilai keislaman serta ikut serta dalam menumpas paham komunisme yang dibawa oleh PKI.
Di samping itu, para anggota-kader telah mampu memasuki berbagai elemen kemasyarakatan dari wilayah pendidikan, agama, sosial budaya,  dan pemerintahan baik itu legislatif, yudikatif, eksekutif serta berbagai lembaga kenegaraan lainnya.
Kenyataan tersebutlah yang mengindiksikan bahwa HMI dan Indonesia merupakan satu kesatuan yang tidak bisa terpisahkan.
Pada saat ini, negara-bangsa Indonesia sedang menghadapi berbagai tantangan sosial kemasyarakatan yang selayaknya membutuhkan solusi kongkrit. Masalah sosial budaya yang berakar dari keberagaman suku, bahasa, primordial, dan agama menjadi isu-isu menarik yang mengancam keutuhan dan integritas bangsa.
Prilaku ekonomi dan politik berlangsung dengan berbagai macam praktek korupsi, kolusi dan nepotisme yang demikian itu sama sekali tidak berpihak kepada masyarakat banyak. Penegakan hukum  tidak lagi terasa dan ini bertentangan dengan prinsip keadilan dan persamaan hak bagi setiap warga Negara di hadapan hukum.
Berbagai masalah tersebut sudah menjadi keniscayaan bagi HMI untuk mampu menjawabnya dengan cara memberikan kontribusi pemikiran dan solusi cerdas demi terwujudnya tatanam masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera.
A.     Budaya Konflik
Banyak yang mengatakan bahwa konflik merupakan dinamika organisasi. Sepintas pernyataan tersebut benar, bahwa tanpa adanya konflik, organisasi menjadi banal, jumud, stagnan, garing dan tidak berwarna. Tanpa adanya konflik seolah organisasi tidak berkembang dan bersifat statis. Sehingga pada akhirnya konflik merupakan suatu keharusan bagi eksistensi dan keberlangsungan organisasi. Sekalipun suasana organisasi terasa “adem-ayem”, maka konflik haruslah diciptakan dengan cara direkayasa.
Akan tetapi yang harus ditekankan oleh kita adalah konflik yang terjadi itu seperti apa dan akan berdampak apa. Apakan konflik yang menyehatkan atau bahkan akan merusak organisme organisasi. Terkadang kita tidak pernah peka dan tidak mempertimbangkan dampak dari konflik yang terjadi, baik yang natural maupun yang direkayasa.
Fakta di lapangan bahwa banyak sekali konflik internal organisasi yang mengakibatkan kekacauan dan pertikaian di antara anggota-kader yang terjadi terus menerus dan tidak berkesudahan. Sehingga pada akhirnya peranan HMI sebagai organisasi perjuangan tidak optimal diimplementasikan dalam masyarakat luas. Anggota-kader lebih disibukan dengan berbagai politik, strategi dan taktik bagaimana ia mampu untuk menyerang lawan politiknya.
Lama-kelamaan kondisi seperti itu akan menjadi sebuah tradisi yang bertahan lama. Konflik tidak sehat yang ditradisikan menjadi sebuah budaya yang menjadi identitas khas yang melekat di tubuh HMI. Citra di luar adalah HMI penuh dengan konflik internal yang tidak pernah terselesaikan.
Jika sekiranya para anggota-kader yang memiliki pahaman akan budaya konflik mengisi setiap pranata sosial, merekalah yang menjadi penentu nasib pranata sosial kemasyarakatan tersebut. Maka sudah bisa dipastikan bahwa masa depan Indonesia akan penuh dengan konflik-konflik yang seharusnya tidak terjadi.
B.     Karakter Sebagai Indikator
Karakter setiap anggota-kader akan membentuk karakter organisasi dan karakter organisasi akan mengkonstruk karakter negara-bangsa Indonesia. Karakter akan menjadi indikator bagi setiap langkah dan prilaku kita. Karakter yang baik akan menghasilkan tindakan yang baik, begitupun sebaliknya.
Karakter HMI yang independen seharusnya menjadi modal awal bagi setiap perjuangan yang diusahakan. Ke-independen-an HMI seolah menjadi konsep kosong tanpa arti yang berlalu begitu saja bagai angin yang berhembus meninggalkan kita. Idealnya, jika HMI telah mampu menerapkan karakter ke-independen-an dalam  kehidupan, sudah selayaknya Indonesia akan Merdeka dalam berbagai aspek, baik dalam sosial budaya, politik dan ekonomi.
Maka sekarang sudah menjadi kepantasan bagi HMI untuk mulai berbenah diri dalam berbagai aspek kehidupan. Merubah paradigma bahwa HMI cenderung “pragmatis” menjadi organisasi yang “idealis”, menghindarkan diri dari berbagai konflik yang menimbulkan pertikaian, menghijrahkan diri dari kebanalan kepada produktifitas pemikiran dan karya, menegakan konstitusi di setiap langkah perjuangan organisasi, kembali lagi kepada khittah perjuangan bahwa HMI harus menegakan nilai-nilai keislaman dan keindonesiaan, serta HMI harus fokus pada tujuan bersama bukan tujuan individual.
HMI adalah hulu sedangkan Indonesia adalah hilir. Nasib hilir akan ditentukan oleh hulunya, jadi nasib Indonesia tentunya tergantung dari sejauh mana HMI mampu untuk mencerminkan nilai-nilai idealnya di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Ketika HMI telah mampu untuk mengimplementasikan tujuan utamanya yaitu menciptakan suatu tatanan masyarakat adil makmur yang diridhai Allah Swt, maka konsuekwensi logisnya bagi negara-bangsa Indonesia adalah terwujudnya amanah konstitusi poin kelima, yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indosesia. 
4. HMI dalam Bingkai Keciputatan
Setidaknya penulis berasumsi bahwa sepanjang sejarah perjalanan Himpunan Mahasiswa Islam Cabang Ciputat ada dua tradisi yang pernah dijajaki, pertama tradisi intelektual-akademis, dan yang kedua tradisi politik-pragmatis. Namun sejarah mencatat, bahwa hanya ketika HMI Cabang Ciputat menekuni tradisi intelektual-akademis dirinya mendapatkan kesuksesan dan pengakuan dalam skala nasional.
       Dalam menggambarkan kondisi HMI Cabang Ciputat, Wahyuni Nafis menggambarkan:
Menghadirkan Cabang Ciputat dalam sejarah HMI tentu saja –sebenarnya- merupakan sebuah kewajaran belaka, mengingat masing-masing Cabang memiliki sejarah dan karakteristiknya yang tidak saja berbeda, unik, namun tentut saja memiliki kekhasannya masing-masing. Kebutuhan mengetahui Sejarah HMI Cabang Ciputat (Keciputat) jelas tidak didasarkan atas sikap arogansi yang cenderung hanya membanggaka kejayaan masa lalu.
Mengadirkan tulisan semacam ini setidaknya didasari tiga gagasan. Pertama, kalau memang HMI Cabang Ciputat dikatakan oleh sebagian alumni-alumninya pernah memiliki kejayaan, dengan berbagai data dan fakta, maka mungkin saja hal semacam ini bisa menjadi stimulus bagi para kader di hari ini. Kedua, seandainya statemen “HMI Cabang Ciputat pernah memiliki kejayaan” sementara diterima, maka kita bisa menelaah strategi dan perangkat apa saja yang membuat para  kader di masa itu berhasil. Ketiga, kita kembali mempertanyakan, apakah benar para kader HMI di masa tertentu di Ciputat pernah mengalami keberhasilan? Betulkah mereka berhasil menjadi seorang intelektual, pemikir, pemimpin, dan lain sebagainya, didapatkan dari aktivitas yang dilakukan di HMI?
Tiga persoalan itulah yang mendasari dihadirkannya tulisan ini. Dengan kemungkinan besar, kesalahan interpretasi dan kekeliruan penilaian atas realitas yang sebenarnya telah terjadi di masyarakat HMI Cabang Ciputat, akan terjadi dalam tulisan ini. Karenanya, paling tidak tulisan ini menjadi tawaran awal bagi para peminat yang ingin mengetahui keadaan HMI Cabang Ciputat.
Satu hal perlu diperhatikan, bahwa HMI Cabang Ciputat saat ini masih sangat dihormati di Cabang-Cabang lain di seluruh Indonesia. Salah satu faktor utamanya adalah Nilai-Nilai Dasar Perjuangan (NDP) HMI yang sangat identik dengan Cak Nur –sapaan akrab Nurcholish Madjid– yang nota bene merupakan kader Ciputat. Hal ini berdampak psikologis bagi kader-kader HMI Cabang Ciputat sampai saat ini,  terbukti ketika kader dari Ciputat mengikuti Latihan Kader II (Intermediate Training) di luar Ciputat,  sehingga kita mungkin akan heran bahwa kader-kader HMI Cabang lain akan banyak bertanya tentang Ciputat dengan wajah antusias dan kekaguman. Hal ini karena track-record intelektual HMI Cabang Ciputat yang masih terimajinasikan dengan baik melalui ketokohan dan banyaknya buku-buku karya alumni-alumni Ciputat.[7]
       Dari uraian tersebut sudah sangat jelas bahwa tradisi intelektual-akademis lah yang telah mampu untuk mengangkat harkat dan derajat HMI Cabang Ciputat di kancah nasional. Kontribusi gagasan serta pemikirannya telah dapat menjadi rujukan bagi setiap cabang-cabang yang tersebar di hamparan bumi nusantara ini.
       Namun demikian, kenyataan di lapangan menyebutkan bahwa untuk saat ini, HMI cabang Ciputat lambat laun mulai meredup. Tradisi intelektual-akademis yang dulu pernah membatu, perlahan mualai terkikis. Di saat tradisi intelektual-akademis mulai memudar, saat itulah HMI Cabang Ciputat tidak memiliki karakter khusus dan tradisi.
       Mengembalikan lagi posisi Ciputat sebagai pusat khazanah intelektual, mungkin itu suatu harapan yang ideal dan mulia. Akan tetapi jika seandainya kita bercermin kepada realitas yang terjadi sekarang,yang terasa adalah kejumudan intelektual yang sedang menjerat cabang ini.
       Tidak bisa dipungkiri, semangat dan kesadaran kader untuk menjadi insan akademis, pencipta dan pengabdi sangat minim. lingkar-lingkar kajian sepi tak ubah seperti pasar tradisional yang berdampingan dengan pusat jajanan tradisional. forum-forum diskusi tidak lagi diminati.
       Tradisi menulis di kalangan mahasiswa tidak ada ke-khas-an tersendiri, terkecuali hanya sebatas memuaskan gairah dan hasrat dosen dengan menyiapkan tugas kuliah berupa makalah yang itu pun mereka buat dengan begitu instan. penelitian ilmiah (riset) hanya menjadi pekerjaan rumah bagi mereka yang mempunyai kepentingan di dalamnya.
       Moment Konfercab dalam pandangan sebagian banyak kader hanya sebatas ritual politis semata. Di dalamnya berkumpul para elit yang haus akan kekuasaan dan jabatan. pencitraan, lobi-melobi, tarik menarik, gesekan bahkan politik transaksional menjadi hal yang lumrah. Gagasan serta idelasisme untuk sementara mereka tinggalkan, hitungan matematis menjadi dasar kebenaran dan kemenangan.
       Mungkin kita sedang berada dalam zaman kegelapan (dark ages). cahanya pengetahuan dan rasionalitas tak lagi dijunjung tinggi. tidak ada lagi sebuah pedoman yang menjadi rujukan. Konstitusi hanya menjadi teks mati, mission hanya bualah belaka dan NDP diposisikan sebagai ideologi semu.
       Kenyataan praktis tidak berbanding lurus dengan realitas teoritis. tidak terjadi keseimbangan dalam tubuh HMI ini. kritik hanya dijadikan alat untuk menyerang lawan, meski apa yang ia tuntut tidak berlandaskan atas argumentasi yang logis.
A.    Menghidupkan Kembali Tradisi Intelektual
Jalan satu-satunya yang dapat mengembalikan jadi diri HMI Cabang Ciputat adalah menghidupkan kembali tradisi intelektual. Hal tersebut dipandang sangat penting karena mau tidak mau kita harus mengakui bahwa tradisi intelektual tersebut sedang tertidur pulas atau bahkan sudah mati.
       Artinya, jika HMI Cabang Ciputat ingin kembali memiliki karakter khas dan tradisi yang dapat menggemparkan bumi nusantara ini, maka jalan keluarnya adalah tradisi intelektual tersebut harus dihidupkan kembali. Tanpa adanya tradisi intelektual, apalah arti sebuah nama dari HMI Cabang Ciputat.
       Peletakan dasar pondasi intelektual harus dimulai dari penanaman kembali tradisi-tradisi yang sangat fundamental. Tradisi-tradisi yang fundamental tersebut terdiri atas tiga unsur, yaitu tradisi membaca, mengkaji (diskusi), dan menulis. Itulah ketiga elemen penting yang menjadi penopang atas tegaknya tradisi intelektual-akademis.
       Membaca merupakan aktifitas penting dalam mengkonstruksi sistem pengetahuan di dalam diri kita. Tanpa membaca, pikiran kita tidak akan pernah mengalami perkembangan. Dengan kata lain, membaca berarti memasukan berbagai macam informasi ke dalam pikiran kita. Setelah kita membaca, tentu berbagai macam informasi akan masuk ke dalam pikiran kita. Dari itu, perlu adanya suatu proses interaksi antara satu dengan yang lainnya agar pengetahuan tersebut menjadi bernuansa. Melalui diskusi, pengetahuan akan diwujudkan dalam susunan kata yang bermakna.
       Kemudian, buku yang kita baca dan kata-kata yang bermakna, terkadang hanya ada di dalam waktu-waktu tertentu saja. Keduanya tak meninggalkan jejak dalam garis sejarah. Hanya melalui tulisanlah apa yang kita ketahui dan kita ucapkan akan abadi sepanjang sejarah. Dari itu dalam rangka menyicil keabadian tersebut, maka dipandang perlu untuk menghidupkan kembali tradisi tulis-menulis di lingkungan HMI Cabang Ciputat.
Jadi sangatlah jelas bahwa yang dibutuhkan HMI Cabang Ciputat saat ini adalah pembentukan karakter dan jati diri. Karakter dan jati diri yang menjadi ruh penghidup HMI Cabang Ciputat tidak lain dan tidak bukan hanyalah tradisi intelektual-akademis. 
5.      Penutup
HMI sudah tidak muda lagi. tidak segagah dahulu kala ketika berapi-api memberantas ideologi komunis. tentunya ketika memasuki usia senja, HMI haruslah bersikap bijaksana dalam menghadapi masalah apapun. baik masalah yang menyangkut kepercayaan, keislaman, keindonesiaan maupun wilayah kemanusiaa.
            Memahami HMI berarti Memahami Islam. memahami Islam berarti memahami kebenaran universal dan kebenaran universal tidaklah mungkin bertentangan dengan nilai-nilai ketuhanan dan kemanusiaan. dan kebenaran universal itu adalah Allah Swt. kemudian, nilai ke-Islam-an ini harus berkesesuaian dengan identitas kebangsaan demi terwujudnya perjuangan yang jelas.
            Jika seandainya nilai ideologi ini telah diterapkan pada ranah kehidupan sehari-hari, maka secara otomatis cita-cita luhur serta tujuan hidup akan kita dapatkan. tapi jika dalam nyatanya hal ini belum atau tidak terwujud, maka kita harus mempertanyakan ulang nilai kepercayaan yang telah kita anut selama ini. ataukah ada yang salah selama ini dalam wilayah system pemahaman kita terhadap kepercayaan yang telah kita anut.
            Nilai ideologi HMI telah sejalan dengan nilai-nilai ketuhanan dan kemanusiaan. artinya, sedah ada garis penghubung yang bersipat vertikal sekaligus horizontal. kepercayaan individu akan berujung kepada kepercayaan kolektif dan kemerdekaan manusia secara pribadi akan berkesimpulan pada kemerdekaan manusia secara komunal (bersama).
            Dalam konteks keciputatan, memahami HMI tentu harus berkaca pada sejarah yang telah berlalu, di mana ketika HMI Cabang Ciputat memilih jalan dalam ranah intelektual-akademis, dirinya mampu untuk membuktikan keberhasilan dan pengaruhnya dalam skala nasional. Artinya, yang menjadi ruh perjuangan HMI Cabang Ciputat adalah ruh intelektualitas-akademis. Dan tugas kita sekarang adalah bagaimana ruh intelektualitas-akademis tersebut dihidupkan kembali. #Yakusa
Pantaskanlah dan Aku Pasti ! ! !
Daftar Pustaka
Andito, “Mengapa Rekonstruksi Ideologi HMI” dalam Menggugat HMI: Mengembalikan Tradisi Intelektual (Tangerang: HMI Ciputat Press, 2005)
Bagus, Lorens, Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia, 2002
Barton, Greg Gagasan Islam Liberal di Indonesia, terj. Nanang Tahqiq Jakarta: Paramadina, 1999
Baso, Ahmad, NU Studies: Pergolakan Pemikiran Antara Fundamenatalisme Islam dan Fundamentalisme Neo-Liberal Jakarta: Erlangga, 2006
Creel, H.G, Alam Pikiran Cina sejak Confucius sampai Mao Zedong, terj. Soejono Soemargono, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1990
Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahannya Semarang, Toha Putra, 1996
Fauzi, Muchriji, dan Ade Komaruddin Muhammad (ed.), HMI Menjawab Tantangan Zaman, Jakarta: Gunung Kelabu, 1990
Hakim, Masykur, Pergolakan Reformasi dan Strategi HMI Jakarta: al-Ghozaly, 2001
Iqbal, T.M. Dhani, Sabda dari Persemayaman, Jakarta: Grasindo, 2003
Kurzman, Charles, Islam liberal di Indonesia; Pemikiran Islam Kontemporer tentang Isu-isu Global, Terj. Bahrul Ulum dan Heri Junaidi Jakarta: Paramadina, 2001
Leaman, Oliver, Pengantar Filsafat Islam: Sebuah Pendekatan Tematis, terj. Musa Kazim dan Arif Mulyadi, Bandung: Mizan, 2001
Madjid, Nurcholish, Islam; Doktrin dan Peradaban, Jakarta: Paramadina, 2000
_____, “Al-Quran Berwawasan Inklusif”, Ensiklopedi Nurcholish Madjid, Indramayu: Yayasan Ponpes Az Zaytun, 2008
Nasr, Seyyed Hossein dan Leaman, Oliver, Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, terj. Tim Penerjemah Mizan, Bandung: Mizan, 2003, Vol. 1
PB.HMI, Nilai-Nilai Dasar Perjuangan, Jakarta: Penerbit PB.HMI, 1971
         , Hasil-Hasil Kongres IX HMI di Malang 3-10 Mei 1969, Jakarta: Penerbit PB.HMI, 1969
         , Hasil-Hasil Kongres XXVI HMI di Palembang 28 Juli-5 Agustus 2008, Jakarta: Penerbit PB.HMI, 2008
Rahardjo, M. Dawam, Insan Kamil: Konsepsi Manusia Menurut Islam, Jakarta: Grafitipers, 1987
Sitompul, Agusssalim, Menyatu dengan Umat, Menyatu dengan Bangsa Jakarta: Logos, 2002
Tanja, Victor, Himpunan Mahasiswa Islam; Sejarah dan Kedudukannya di Tengah Gerakan-gerakan Muslim Pembaharuan di Indonesia Jakarta: Sinar Harapan, 1991
Tebba, Sudirman, Orientasi Sufistik Cak Nur, Komitmen Moral Seorang Guru Bangsa, Jakarta: Khazanah Populer Paramadina, 2004
Titus, Harold H. et.all, Persoalan-Persoalan Filsafat, terj. H.M. Rasjidi, Jakarta: Bulan Bintang, 1984
Wahib, Ahmad, Pergolakan Pemikiran Islam; Catatan Harian Ahmad Wahib, Jakarta: LP3ES, 2001



BIODATA DIRI
PRIBADI
Nama             : Dani Ramdhany
TTL                 : Tasikmalaya, 12 April 1991
Agama           : Islam
Status             : Belum Nikah
Alamat            : Kertamukti, Ciputat, Tangerang Selatan, Banten
Kontak           : ramdhany12@gmail.com – 089634785605 – 23729DC5
PENDIDIKAN
2003 lulus di Madrasah Ibtidaiyah (MI) Al-Ikhlas Cisompok, Tasikmalaya.
2006 lulus di Madrasah Tsanawiyah (MTS) Al-Ikhlas Cisompok, Tasikmalaya.
2009 lulus di Madrasah Aliyah (MA) Yayasan Pesantren Cilenga, Tasikmalaya.
2009-Sekarang kuliah di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Fakultas Ushuluddin, Jurusan Aqidah Filsafat.
ORGANISASI
2009 mengikuti Latihan Kader 1 (LK-1) di HMI Komfuf.
2012-2013 menjadi Ketua Umum HMI Komfuf.
2012 Mengikuti Latihan Kader II di HMI Cabang Kota Bogor.
2013-2014 menjadi Wasekum Bidang Infokom HMI Cabang Ciputat.
VISI MISI
Menghidupkan Kembali Tradisi Intelektual HMI Cabang Ciputat
MOTTO HIDUP
Pantaskanlah dan Aku Pasti. . . #Yakusa






[1] Dalam pengatar Pengurus Besar HMI atas teks Nilai-Nilai Dasar Perjuangan (NDP) HMI
[2] Nurcholis Madjid, Pintu-Pintu Menuju Tuhan (Jakarta: Paramadina, 1995), h. 2.
[3] Dani Ramdhany, dkk, (editor), Modil Latihan Kader 1: Himpunan Mahasiswa Islam Cabang Ciputat (Ciputat: Bidang PA HMI Cabang Ciputat, 2013), h. 100.  
            [4] Nur Cholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, h. 73.  
[5] Oliver Leaman, Pengantar Filsafat Islam: Sebuah Pendekatan Tematis, h. 94
[6] PB-HMI, Hasil-Hasil Kongres XXVI HMI di Palembang 28 Juli-5 Agustus 2008, (Jakarta: Penerbit PB-HMI).

[7] Bersumber dari tulisan yang direfisi ulang oleh Asef Sofyan dari Wahyuni Nafis tentang sejarah HMI Cabang Ciputat. Dani Ramdhany, dkk, (editor), Modil Latihan Kader 1, h. 17

Related Posts:

0 komentar:

Posting Komentar