Dimuat
di Laman Portal Rakyat Merdeka
http://www.rmol.co/read/2014/08/31/170061/Menyoal-Kenaikan-Harga-BBM-Bersubsidi-
Partai
Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang selama ini menjadi partai oposisi
pemerintah yang secara lantang dan konsisten menolak kenaikan harga Bahan Bakar
Minyak (BBM) bersubsidi, justru sekarang malah mendesak Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY) untuk menaikan harga BBM bersubsidi di penghujung masa
baktinya.
Desakan
untuk menaikan harga BBM tersebut secara jelas dinyatakan oleh Ketua Umum PDIP,
Megawati Sukarno Putri. Megawati berpendapat bahwa menaikan harga BBM
bersubsidi dipandang perlu, demi terwujudnya kondisi keuangan negara yang
stabil.
Megawati
beralasan, selama ini PDI Perjuangan menolak kenaikan harga BBM bersubsidi
karena masih ada opsi lain yang bisa diambil pemerintah untuk menyelamatkan
keuangan negara. Tapi dalam konteks Indonesia saat ini, menurutnya, situasinya sangat
jauh berbeda. Megawati menyatakan satu-satunya opsi menyelamatkan keuangan
negara adalah dengan cara menaikan harga BBM bersubsidi.
Hal
tersebut tentunya mengundang tanda tanya besar. Mengapa partai yang selama ini
mengklaim dirinya sebagai partai yang berpihak kepada "wong cilik"
justru sekarang menginginkan harga BBM bersubsidi dinaikan? Bukan kah hal
tersebut justru memberikan kesah bahwa PDIP kontra dengan “wong cilik”?
Jika
dilihat dari aspek politiknya, maka desakan tersebut dikarenakan jika
seandainya di akhir masa bakti SBY harga BBM tidak lekas dinaikan, maka sudah
dapat dipastikan bahwa kenaikan BBM tersebut akan terjadi pada pemerintahan
Joko Widodo. Dan justru pada akhirnya hal tersebut akan menjadi batu sandungan
di awal ia menjabat sebagai Kepala Negara.
Meminjam
istilah Rizal Ramli, hal tersebut bagi awal pemerintahan Jokowi adalah
"Jebakan Batman", dimana Anggaran Pengeluaran Belanja Negara (APBN)
2015 yang disusun pemerintahan SBY dipandang tidak akan mampu mewujudkan
beberapa program yang telah direncanakan oleh Jokowi dan timnya dalam kampanye
pada Pilpres yang lalu.
*
* *
BBM
bersubsidi tentu merupakan suatu hal yang tidak dapat dipisahkan dari masyarakat
Indonesia secara menyeluruh, baik yang tua maupun muda, baik laki-laki maupun
perempuan, baik "wong kaya" maupun "wong cilik".
Ketika
BBM bersubsidi harganya naik — walau hanya Rp.1000 – maka sudah dapat
dipastikan rakyat semuanya akan berteriak, menjerit dan menolak kebijakan
tersebut. Mengapa tidak, saat harga BBM naik, maka kebutuhan pokok pun akan
ikut naik. Harga beras, daging, ikan, sayuran, buah-buahan, rempah-rempah,
sampai ongkos kendaraan umum pun akan ikut naik juga.
Karena
subsidi BBM itu hal yang menyangkut hajat hidup banyak orang, maka pemerintah
selayaknya harus hadir sebagai suatu lembaga tertinggi yang mampu untuk
menjamin dalam meringankan beban hidup sehari-hari, bukan malah justru menambah
beban dan penderitaan rakyat.
Bagi
pemerintahan SBY, langkah kebijakan untuk menolak permintaan Jokowi untuk
segera menaikan harga BBM merupakan langkah yang tepat dan benar. Dalam
keterangannya, SBY menjelaskan "masalah subsidi BBM selalu dihadapi dari
satu pemerintahan ke pemerintahan yang lain. Bagi negara yang menganut sistem
kapitalistik, subsidi itu tidak disukai. Tapi, saya berpendapat lain. Di
Indonesia masih ada saudara-saudara kita yang miskin, yang daya belinya rendah."
Bagi
ratusan juta rakyat Indonesia, putusan SBY yang tidak menaikan harga BBM
bersubsidi tentu akan menjadi nilai tambah di akhir masa baktinya. Khusnul Khotimah di akhir jabatan
merupakan pilihan yang tepat bagi SBY, dibanding harus mendengar teriakan dan
tangisan "wong cilik" karena melambungnya harga BBM.
Bagi
pemerintah selanjutnya, citra tentu tidak akan menjadi jaminan untuk menjadikan
"perut" 250 juta jiwa orang terasa kenyang. Janji-janji surga yang
selama ini ditujukan atas nama "wong cilik" tentunya harus
berkesesuaian dengan kebijakan-kebijakan –termasuk didalamnya subsidi BBM —
yang sejatinya tidak membebani ratusan juta jiwa rakyat Indonesia.
Sejatinya,
rakyat jelata yang tersebar sampai pelosok negeri, tidak akan pernah menanyakan
apakah keuangan Negara itu mengalami keuntungan atau kerugian. Yang diharapkan
mereka hanyalah pendidikan dan kesehatan terjamin serta harga bahan sembako
yang menjadi kebutuhan sehari-hari dapat dibeli dengan harga yang murah.
Ramdhany
Mahasiswa
Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Penggiat Kajian Piush
0 komentar:
Posting Komentar