Oleh:
Ramdhany
Saya
akan mengawali tulisan ini dengan satu pertanyaan: apakah ada hubungannya
antara tauhid dengan kemerdekaan. Jika ada, lantas seperti apa penjelasannya.
Dalam tulisan sederhana ini, saya akan mencoba mengurai dan menjelaskan sedikit
tentang hubungan antara tauhid dengan kemerdekaan.
Sistem
kerja dalam kehidupan seseorang ditentukan oleh sistem nilai yang ia ketahui.
Sistem nilai tersebut, pada hakikatnya merupakan suatu turunan dari sistem
kepercayaan yang dipegang oleh seseorang. Jika kepercayaannya benar, maka
sistem nilainya pun benar. Dan jika sistem nilainya benar, maka sistem kerja
seseorang dalam kehidupannya pun akan benar.
Sebaliknya,
jika seseorang berpegang teguh kepada kepercayaan yang salah, sudah dapat
dipastikan sistem nilai yang ia ketahui akan salah. Dan si saat ia memiliki
sistem nilai yang salah, konsekuensi bagi kehidupannya adalah bahwa ia akan
bertindak atas hawa nafsu dan amal yang non-kemanusiaan.
Jadi
sangat jelas bahwa pada dasarnya antara kepercayaan, sistem nilai, dan sistem
kerja manusia sangat berkaitan satu sama lain. Artinya, tidak ada satu pun
tindakan yang dilakukan oleh seseorang yang tidak dilandaskan atas sistem nilai
dan kepercayaan tertentu. Amal atau tindakan yang bermakna adalah suatu
tindakan yang didasarkan atas nilai-nilai tertentu.
Contoh,
ketika seseorang membersihkan rumah tinggalnya, seseorang tersebut percaya
bahwa saat ia membersihkan rumah, ada nilai kebaikan di dalamnya. Dan saat
rumah tinggalnya dibiarkan kotor berdebu, maka ia pun percaya bahwa ada nilai
keburukan.
Dalam
sistem kepercayaan, Tauhid merupakan sistem kepercayaan yang benar. Tauhid
adalah pengesaan terhadap Kebenaran Mutlaq (al-Haq al-Muthlaq) atau dinamakan
Allah dalam tradisi agama Islam. Dari sekian banyak sistem kepercayaan yang ada
di dunia ini, hanya tauhidlah yang benar, dan sisanya salah dan keliru.
Karena
pada dasarnya tauhid adalah suatu sistem kepercayaan terhadap Kebenaran Mutlaq
(al-Haq al-Muthlaq), maka selain tauhid adalah suatu sistem kepercayaan
terhadapap sesuatu yang relatif (nisbiyyah).
Tauhid
atau pengesaan terhadap Tuhan adalah kunci utama bagi kehidupan manusia. Saat
manusia menjadikan tauhid sebagai titik awal langkah kehidupannya, maka ia akan
selalu berada di atas garis kebenaran dan akan bermuara di kebenaran pula.
Pada
dasarnya, tidak ada satu pun manusia yang tidak memiliki kepercayaan. Setiap
manusia pasti perlu dan butuh kepercayaan. Karena dengan percaya, manusia
tersebut tidak akan meragu saat akan melakukan sesuatu.
Masalahnya
adalah, manusia tersebut percaya terhadap apa, apakah percaya kepada kebenaran
relatif atau percaya kepada Kebenaran Mutlaq. Dan tentunya, kepercayaan yang
benar adalah saat manusia tersebut percaya kepada kebenaran yang tunggal, yaitu
Kebenaran Mutlaq. Kebenaran Mutlaq itu adalah Allah. Dan percaya kepada Allah
merupakan sistem kepercayaan yang disebut dengan tauhid atau monoteis.
Fitrah
manusia adalah hanief, yaitu kecenderungannya selalu berada di atas jalan
kebaikan dan kebenaran. Karena ia berasal dari kebenaran dan akan bermuara di
kebenaran pula.
Tunduk
dan pasrah kepada Allah sebagai Kebenaran Mutlaq berarti menjadikannya sebagai
peguasa atas dirinya. Tidak ada satupun selain-Nya yang pantas untuk dijadikan
sebagai pijakan dan sandaran, karena selain-Nya itu terbatas, jamak, relatif,
terbatas, rapuh, dan tak utuh.
Ketika
Manusia menjadikan Allah sebagai Tuhan sekaligus sebagai sandaran hidupnya,
maka secara otomatis ia akan menjadi manusia yang bebas, merdeka, atau
independen. Ia akan bebas melakukan apapun yang sekiranya hal tersebut masih
berada dalam garis kebenaran.
Sebaliknya,
ketika manusia menjadikan selain Allah sebagai tuhan dan sandarannya, maka pada
hakikatnya ia telah menjadikan dirinya sebagai manusia yang terjajah atau
budak. Karena, menghamba kepada selain Kebenaran Mutlaq adalah menjadikan yang
relatif sebagai pijakan dan pegangan, hal itu salah dan keliru.
Hanya
saat manusia bertauhidlah dirinya akan mendapatkan kebebasan dan kemerdekaan.
Karena saat ia mempertuhankan sesuatu yang rapuh dan tak utuh, ia akan
tersandra oleh banyak kehendak dan keinginan.
Kemerdekaan
akan manusia dapatkan saat ia mampu melepaskan dirinya dari segala bentuk
belenggu-belengggu yang menjerat dirinya. Belenggu-belenggu tersebut nyatanya
adalah sesuatu yang rapuh dan tak utuh yang sama sekali tak pantas untuk
dijadikan sebagai sandaran dan pegangan.
Saat
kita menyatakan dengan sadar bahwa Tuhan hanyalah Kebenaran Mutlaq (Allah),
maka jadikanlah Kebenaran Mutlaq tersebut sebagai pijakan, sandaran dan
pegangan. Dan saat manusia menjadikan Yang Mutlaq tersebut sandaran, maka sudah
dapat dipastikan ia akan menjadi manusia yang merdeka seutuhnya.
Maka
tidaklah salah jika pada nyatanya para nabi terdahulu saat mengemban misi
tauhid, maka saat itu pula mereka membawa misi pembebasan kaum-kaum yang
terjajah dan tertindas.
Begitu
pun dengan dengan Indonesia, kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia
didasarkan atas ketuhanan yang Maha Esa atau tauhid. Dalam pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945 dinyatakan: "Atas berkat rahmat Allah Yang Maha
Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan
kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini
kemerdekaannya."
Tauhid
dan Kemerdekaan saling berhubungan kuat. Prinsip tauhid membawa semangat
kemerdekaan atas manusia-manusia yang terjajah dan tertindas. Dimanapun dan
kapanpun, tauhid selalu selaras dengan prinsip kemanusiaan. Di sinilah arti
penting memiliki kepercayaan tauhid, karena pada dasarnya hanya tauhid yang
berkesesuaian dengan fitrah manusia yang bebas dan merdeka.
Jadikanlah
Kebenaran Mutlaq yang Tunggal sebagai pegangan dan sandaran. Saat itu pula kita
akan menjadi manusia yang bebas dan merdeka secara utuh dan menyeluruh.
Wallahu
a'lam
0 komentar:
Posting Komentar