Oleh:
Ramdhany*
Dimuat di Rimanews.com
http://www.rimanews.com/read/20140703/159493/pemilu-dan-perang-politik
Pemilihan Umum atau Pemilu itu bagaikan perang.
Perang yang dimaksud dalam konteks ini adalah perang politik. Atas nama
demokrasi, Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menyediakan arena peperangan bagi
pada kandidat Calon Presiden untuk berkompetisi dalam arena peperangan yang
dinamakan Pemilu.
Politik
selalu identik dengan kekuasaan. Ketika ada dua kubu yang berkompetisi dalam
arena politik, maka perang tersebut tidak lain hanya untuk memperebutkan
kekuasaan melalui mekanisme Pemilu.
Sebelum
saya memaparkan pemahaman tentang konsep perang politik, terlebih dahulu saya
akan menjelaskan secara singkat pengertian dari perang itu sendiri.
Perang
merupakan sebuah fenomena aksi fisik atau non-fisik antara dua atau lebih
kelompok masyarakat untuk melakukan dominasi atas sesuatu yang dipertentangkan.
Tujuan dari perang tidak lain hanya untuk mendapatkan kemenangan atas apa yang
diperebutkan, walau dengan segala cara.
Carl
von Clausewitz, seorang perwira tentara Prusia menyatakan, perang itu memiliki
makna filosofis. Menurutnya, perang merupakan turunan dari sifat dasar manusia
yang tetap sampai sekarang memelihara dominasi dan persaingan sebagai sarana
memperkuat eksistensi diri dengan cara menundukkan kehendak pihak yang dimusuhi.
Dari
uraian di atas sangat jelas bahwa perang itu mengandaikan adanya suatu tujuan
yang diperjuangkan. Tanpa adanya sesuatu tujuan, tentu perang tidak akan pernah
terjadi. Tujuan itulah yang mendasari peperangan harus terjadi. Tujuan itu
bersifat relatif, entah apa bentuknya. Ada yang memperebut wilayah, ada yang
memperebutkan kedaulatan, ada yang memperebutkan materi, atau bahkan
memperebutkan kekuasaan.
Dalam
konteks perang politik, Niccolo Machiavelli berpendapat bahwa kuasa politik
boleh didapati dengan dua cara, pertama, jika bernasib baik yaitu melalui
warisan, atau yang kedua, melalui penaklukan atau peperangan. Machiavelli
menyatakan kecemerlangan sebuah pemerintah hanya memerlukan seorang pemerintah
yang mempunyai metode pemerintahan yang licik dan dapat menyelesaikan segala masalah.
Karena
Indonesia adalah negara demokratis, maka peperangan yang dimaksud untuk
mendapatkan kuasa politik adalah dengan cara menang dalam kontestasi Pemilu.
Pemilu adalah sarana untuk merebut kekuaaan.
Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyatakan, "Pemilihan Umum adalah perang
politik. Tujuannya adalah kemenangan. Sama dengan peperangan militer. Seperti
perang militer, perang politik punya asas dan prinsip yang mesti dipedomani dan
dijalankan. Juga diperlukan strategi dan taktik yang jitu. Juga kepemimpinan
dan manajemen yang efektif. Juga daya tempur yang bisa digunakan untuk
'memukul' secara menentukan. Dan tak kalah pentingnya, juga logistik yang
cukup."
Dari
uraian di atas, SBY sangat realistis prihal Pemilu. Pertama, SBY dengan tegas
menyatakan bahwa Pemilu adalah perang yang bertujuan untuk meraih kemenangan.
Perang yang dimaksud adalah berkompetisi untuk mendapatkan simpati dan suara
rakyat Indonesia. Nyatanya, kedua Capres, baik Prabowo maupun Jokowi, keduanya
beradu visi, misi, dan program terbaiknya yang ditawarkan kepada rakyat
Indoneisa.
Kedua,
dalam peperangan sudah tentu ada yang menang dan juga ada yang kalah. Hukum
tersebut sudah menjadi keniscayaan dalam sebuah peperangan. Begitupun dalam
perang politik. Pada 9 Juli 2014 nanti, rakyat Indonesia akan menentukan siapa
yang berhak memenangkan kontestasi Pemilu ini.
Terlepas
dari siapa yang akan menang dalam Pemilu kali ini, SBY berpesan, "yang juga
penting untuk dimiliki oleh setiap Calon Presiden adalah yang sering disebut
mental, siap kalah dan siap menang. Ini mudah diucapkan, tetapi sangat tidak
mudah untuk dilaksanakan. Semua tahu bahwa kekalahan itu pahit dan
menyakitkan."
Kalah
dan menang adalah sesuatu yang biasa dalam peperangan. Yang terpenting adalah
bagaimana kedua Capres tersebut mampu menyiapkan mental untuk menghadapi dua
kemungkinan tersebut, kalah atau menang. Di saat kemenangan diraih, janganlah ‘bertepuk
dada’. Dan sebaliknya, ketika yang didapat adalah kekalahah, maka harus
berlapang dada.
Mungkin
itulah yang disebut dengan kedewasaan dalam berpolitik. Kesiapan mental untuk
menghadapi kemenangan atau kekalahan tersebut sangat penting, karena pasca
perang politik atau pemilu di 9 Juli nanti, seluruh rakyat Indonesia
mengharapkan suasana yang aman dan kondusif serta tidak terjadi kekacauan.
Rakyat
Indonesia juga berharap bahwa kedua kandidat Capres mampu memberikan sesuatu yang
terbaik demi terwujudnya Indonesia yang aman, adil, makmur, dan sejahtera.
Karena harus disadari bahwa politik tidak hanya sebatas kemenangan dan
kekuasaan.
*Penulis adalah Ketua Umum
Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Komisariat Ushuluddin dan Filsafat (KOMFUF)
Cabang Ciputat Periode 2012-2013 M.
0 komentar:
Posting Komentar