MANTAN PRESIDEN DAN TUNJANGAN RUMAH

oleh : Ramdhany*
Dimuat: http://www.jakpro.id/mantan-presiden-dan-tunjangan-rumah/
Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono telah menandatangani Peraturan Presiden (Perpres) nomor 52 tahun 2014 tentang Pengadaan dan Standar Rumah bagi Mantan Presiden Dan Mantan Wakil Presiden Republik Indonesia. Pasca terbitnya Perpres tersebut, publik kemudian riuh bergemuruh memperbincangkan tentang kebijakan tersebut, ada yang pro, dan tentu juga ada yang kontra. Hal itu mungkin dianggap sangat wajar, karena kebijakan presiden tersebut menjelang akhir masa jabatannya yang tinggal menghitung hari.
Di pihak yang kontra, Direktur Advokasi FITRA, Maulana menilai bahwa kebikakan tersebut tentunya tidak tepat karena dapat merusak citra sorang pemimpin negara. Baginya,  seorang Presiden harus senantiasa mengabdikan jiwa raganya secara utuh bagi warga negaranya tanpa harus mendapatkan imbalan tertentu.
Fitra menyatakan alasan ketidaksetujuannya atas Perpres tersebut. “Logika berpikir pejabat dan politik harus diperbaiki. Kerja Presiden dan wakilnya itu kerja pengabdian, paradigmanya harus diubah. Kepres itu jadi ironi, karena selama ini alokasi anggaran  infrastruktur belum semuanya patut dan kurang adil bagi ekonomi rakyat,” Kamis (12/6).
Berbeda dengan Fitra, M Qodari menyatakan bahwa tunjangan rumah bagi mantan presiden dan wakilnya tersebut merupakan sesuatu yang masih dapat dianggap wajar. Pasalnya, pemberian rumah tersebut bertujuan untuk menekan tindakan korupsi yang dimungkinkan akan dilakukan oleh kepala negara demi terpenuhinya kelayakan hidup pasca menjadi presiden nanti. ”Namun perlu dibatasi, hanya rumah dengan nilai yang wajar, tidak sampai triliunan harganya.”
Bukan Sesuatu yang Baru
Peraturan Presiden (Perpres) nomor 52 tahun 2014 tentang Pengadaan dan Standar Rumah bagi Mantan Presiden Dan Mantan Wakil Presiden bukan sesuatu hal yang baru. Jauh sebelum itu, pasal 8 poin 1 Undang-Undang nomor 7 tahun 1978 yang ditandatangani oleh Presiden Soeharto pada tanggal 18 Desember 1978 menyatakan bahwa “kepada bekas Presiden dan bekas Wakil Presiden yang berhenti dengan hormat dari jabatannya,masing-masing diberikan sebuah rumah kediaman yang layak dengan perlengkapannya.
Kemudian dalam Peraturan Presiden Nomor 88 Tahun 2007 tentang Perubahan atas Keputusan Presiden nomor 81 tahun 2004 tentang Pengadaan Rumah bagi Mantan Presiden dan Mantan Wakil Presiden Republik Indonesia dinyatakan bahwa nilai pengadaan rumah sebagaimna dimaksud setinggi-tingginya bernilai RP. 20.000.000.000 (dua puluh miliar rupiah).
Yang menjadi permasalahannya adalah rumah yang diperuntukan bagi Mantan Presiden dan Wakilnya tersebut secara kuantitas nilai harganya berapa. Mengingat bahwa nilai rumah dua milyar seperti yang dinyatakan dalam Peraturan Presiden Nomor 88 Tahun 2007 sudah tidak berlaku lagi sesuai dengan ketentuan pasal 9 dalam Perpres tersebut.
Dari itu penulis sangat setuju dengan pendapat Qodari yang menyebutkan bahwa pengadaan rumah tersebut perlu ada batasan tertentu, dan jangan sampai triliunan harganya karena itu dapat menyakiti perasaan rakyat Indonesia.
Tentunya, seorang mantan Presiden dan Wakilnya mempunyai jasa yang sangat besar bagi bangsa ini. Dari itu sudah menjadi sebuah kewajaran jika seandainya negara memberikan  tunjangan rumah tersebut sebagai suatu bentuk apresiasi dan penghormatan atas pengorbanan yang selama ini mereka berikan.
Akan tetapi di sisi lain, pemerintah juga harus dapat memperhitungkan secara matang baik secara kulitatif maupun kuantitatif prihal karakteristik rumah yang dimaksud, supaya masyarakat Indonesia merasa ikhlah dan tentunya tidak akan memunculkan rasa kecemburuan sosial.
*Penulis adalah Ketua Umum HMI KOMFUF Cabang Ciputat Periode 2012-2013 M.

Related Posts:

0 komentar:

Posting Komentar