Dimuat di kolom opini www.rimanews.com
Kebijakan
Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya tentang penutupan Lokasisasi Dolly per
tanggal 18 Juni 2014 mendapatkan penolakan dan perlawanan dari ribuan pekerja
seks komersial (PSK) setempat. Bagaimana tidak, para PSK tersebut
berargumentasi bahwa jika Lokalisasi Dolly tersebut ditutup, maka mereka akan
kehilangan mata pencaharian.
Meskipun
pihak PSK setempat berada dalam posisi kontra atas kebijakan Pemkot Surabaya itu,
akan tetapi banyak kalangan masyarakat yang malah setuju atau pro atas
kebijakan penutupan lokalisasi tersebut.
Pimpinan
Pusat (PP) Muhammadiyah misalnya, Yunahar Ilyas menyatakan kesetujuannya dan
mendukung Walikota Surabaya Tri Rismaharini untuk menutup lokalisasi tersebut.
Di samping itu masih banyak puluhan elemen masyarakat yang pro atas kebijakan
tersebut seperti Hidayatullah, Al-Irsyad, Dewan Dakwah Islamiyah, Front Pembela
Islam, Hizbut Tahrir Indonesia, Persatuan Islam, Persatuan Tarbiyah Islamiyah,
Al Bayyinat, Forum Umat Islam, dan lain sebagainya yang tergabung dalam Gerakan
Umat Islam Bersatu (GUIB).
Kebijakan Pemerintah Vs
Kepentingan “Rakyat”
Pertanyaannya
adalah bagaimana seharusnya pemerintah bersikap atas sebagian masyarakat (PSK) yang
menolak kebijakan atas penutupan Lokalisasi Dolly, padahal di pihak lain,
sebagian masyarakat Indonesia juga menghendakinya?
Indonesia
merupakan negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dengan menjunjung tinggi nilai-nilai ketuhanan,
kemanusiaan, moral, etika, akhlak mulia. Indonesia adalah bangsa yang memiliki kepribadian luhur, menghormati
kebinekaan dalam kehidupan bermasyarakat, serta melindungi harkat dan martabat
setiap individu.
Pada
dasarnya tujuan dari kebijakan penutupan Lokalisasi Dolly yang dilakukan oleh
Pemkot Surabaya tersebut adalah untuk mewujudkan dan memelihara tatanan kehidupan
masyarakat yang beretika, berkepribadian luhur, menjunjung tinggi nilai-nilai
Ketuhanan, serta menghormati harkat dan martabat kemanusiaan. Pemerintah sadar
bertul bahwa jika praktek prostitusi tetap dibiarkan terus-menerus, maka akan
berdampak negatif terhadap tatanan masyarakat.
Atas
dasar itulah, pemerintah memandang bahwa setiap sesuatu yang bertentangan
dengan prinsip dasar berbangsa dan bernegara harus ditindak secara tegas,
termasuk pada kasus penutupan Lokalisasi Dolly. Pemerintah hadir sebagai sebuah
lembaga pelayan publik yang berfungsi untuk membersihkan lingkungan masyarakat
dari berbagai tindakan asusila yang tentunya sangat bertentangan dengan
norma-norma apapun yang ada.
Di
pihak lain, para PSK yang merupakan bagian dari rakyat Indonesia berpendapat
bahwa praktek prostitusi yang dikerjakannya selama ini merupakan mata pencaharian
yang bernilai ekonomis. Dari pekerjaan itulah mereka dapat menjamin
kehidupannya sendiri dan keluarganya.
Faktor
ekonomi harus diakui menjadi dasar penolakan para PSK atas penutupan lokalisasi
tersebut. Dan itu tentunya senada dengan apa yang dikatakan oleh G. Sihombing
bahwa masalah ekonomi menjadi penyebab dasar dari banyaknya perempuan Indonesia
menjadi Pekerja Seks Komersial. Nantinya, jika seandainya lokalisasi tersebut
ditutup, para PSK akan berteriak lantang “lantas kami dan keluarga kami akan
makan apa”. Dari itu, sudah dapat dipastikan bahwa kepentingan para PSK adalah
jaminan kesejahteraan hidup mereka melalui praktek prostitusi.
Antara Kebijakan, Kebajikan
dan Kebijaksanaan
Setiap
kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah tentunya harus mengandung nilai-nilai
kebajikan dan kebijaksanaan. Kebijakan yang bermotif kebijakan pasti akan
mendatangkan kebaikan, keselamatan dan kebijaksanaan.
Kebijakan
itu harus dipandang dari dua sisi, yaitu memberikan dampak kebaikan bagi
pemerintah dan kebaikan juga bagi masyarakat secara luas. Tidak dibenarkan
bahwa kebijakan itu hanya mementingkan ego pemerintah semata tanpa memikirkan
nasib kepentingan masyarakat.
Prihal
kebijakan penutupan lokalisasi Dolly, pemerintah harus memberikan jaminan dan
kepastian bahwa pasca penutupan Lokalisasi Dolly tersebut para PSK tidak ditelantarkan
nasib hidupnya. Pemerintah harus memberikan solusi alternatif bagi para PSK
tersebut entah itu berupa pembinaan, pekerjaan yang layak atau bahkan diberikan
dana bantuan. Pemerintah juga harus dapat memastikan bahwa penutupan Lokalisasi
tersebut jangan sampai memicu konflik sosial dan memastikan tidak terjadi
penurunan angka kesejahteraan ekonomi masyarakat.
Pemerintah
mulai dari Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini, Gubernur Soekarwo dan Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono serta pihak-pihak terkait harus bertanggung jawab
secara utuh dan menyeluruh atas nasib kesejahteraan hidup ribuan PSK tersebut.
Hal itu mengingat bahwa di samping pemerintah mengeluarkan kebijakan,
pemerintah juga harus memberikan jaminan atas kesejahteraan seluruh rakyat
Indonesia.
*Penulis adalah Ketua Umum Himpunan Mahasiswa
Islam Komisariat Fakultas Ushuluddin dan Filsafat (KOMFUF) Cabang Ciputat
Periode 2012-2014 M.
0 komentar:
Posting Komentar