
Gubernur Jakarta, Joko Widodo (Jokowi) mengikrarkan janji sumpah
atas nama Tuhan saat pengambilan sumpah jabatan menjadi Gubernur Daerah Khusus Ibukota
(DKI) Jakarta untuk periode 2012-2017 dalam Sidang Paripurna Istimewa Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DKI Jakarta, Senin 15 Oktober 2012 yang lalu.
Jokowi dengan lantang mengikuti setiap rangkaian kata yang
diucapkan oleh Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia, Gamawan Fauzi.
“Demi Allah saya bersumpah, akan memenuhi kewajiban saya,
sebagai Gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta dengan sebaik-baiknya dan
seadil-adilnya. Memegang teguh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 dan menjalankan segala Undang-undang dan peraturannya dengan
selurus-lurusnya serta berbakti kepada masyarakat, nusa dan bangsa,” tegas Jokowi.
Sebagai seorang gubernur, Jokowi memang memiliki visi yang
sangat menjanjikan bagi masyarakat Ibukota. Jokowi menawarkan konsep Jakarta
Baru, yaitu kota modern yang tertata rapi, menjadi tempat hunian yang layak dan
manusiawi, memiliki masyarakat yang berkebudayaan, dan dengan pemerintahan yang
berorientasi pada pelayanan publik.
Akan tetapi, ada beberapa tugas kewajiban Jokowi yang masih
menumpuk di Ibukota. Jokowi masih memiliki hutang janji untuk menjadikan Ibukota Jakarta sebagai kota yang
bebas dari masalah-masalah menahun seperti macet, banjir, pemukiman kumuh,
sampah dan lain-lain, yang sampai saat ini masih belum bisa terselesaikan
secara maksimal.
Lain di mulut lain dalam kenyataannya. Setelah sekitar 18
bulan menjabat sebagai Gubernur Jakarta, Jokowi justru dengan tegas menyatakan
siap untuk melaksanakan tugas dari Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan
(PDI-P), Megawati Soekarno Putri, untuk menjadi calon Presiden Indonesia di
Pemilu 2014.
“Saya telah diberikan mandat dari Ketua Umum Partai Demokrasi
Indonesia Perjuangan, Ibu Megawati Sukarno Putri untuk menjadi calon Presiden
Republik Indonesia. Dan dengan mengucap bismillahi
rahmani rahim saya siap melaksanakan mandat tersebut,” ujar Jokowi.saat
menjadi juru bicara kampanye PDI-P.
Jika kita dapat memandang kenyataan ini secara jernih, tentu
kita akan berkesimpulan bahwa idealnya Jokowi harus mampu untuk menyelesaikan
tugas kewajiban dia sebagai seorang gubernur. Karena dalam sumpah jabatannya
dengan jelas menyatakan kesiapan untuk memimpin Ibukota serta menyelesaikan
setiap permasalahan sosial yang ada di dalamnya.
Di sisi lain, sebagai seorang kader partai, tentunya Jokowi
memiliki kewajiban untuk taat serta patuh terhadap setiap apa pun yang
dimandatkan oleh pimpinannya sesuai dengan ketentuan Anggaran Dasar dan
Anggaran Rumah Tangga Partai, termasuk disuruh untuk menjadi calon Presiden
Indonesia di Pemilu 2014 ini.
Dilema ini bisa dipahami. Tetapi, mencalonkan diri sebagai
Presiden Republik Indonesia dan melupakan sumpah jabatan hanya akan melahirkan preseden buruk bagi perpolitikan di Indonesia, khusus
bagi PDI-P sendiri, setidaknya dalam dua hal. Pertama, ini akan memperjelas
bahwa posisi pimpinan provinsi, sesungguhnya hanya menjadi batu loncatan menuju
posisi yang lebih tinggi, yakni pimpinan negara.
Kedua, hal ini juga mengisyaratkan bahwa Jakarta tidak lebih
dari ajang uji coba figur-figur tertentu. Di mana setelah akhirnya mendapatkan
kepercayaan rakyat Ibukota negara, ia kemudian mengkhianati kepercayaan tersebut
dan meninggalkan mereka untuk posisi yang lebih menjanjikan.
Andai saja PDI-P sungguh-sungguh memperjuangkan wong cilik, dilema ini tidak perlu
terjadi. PDI-P memiliki banyak kader lain yang berkualitas dan juga memiliki
kapasitas untuk menjadi kepala negara. PDI-P seharusnya memberi contoh
pendidikan politik yang baik dengan mengajarkan kadernya untuk memenuhi sumpah
jabatan demi kepentingan rakyat. Dan bukan justeru mendorong ia untuk
mengabaikan sumpahnya, hanya demi kepentingan partai.
Sumber: http://www.siarnusa.com/suaranusa/dilema-jokowi-antara-sumpah-jabatan-dan-amanat-atasan
0 komentar:
Posting Komentar