S.A.R.A

Dewasa ini, muncul sebuah paradigma yang mengucapkan bahwa penggunaan pendekatan SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan) dalam dunia politik adalah sesuatu yang negatif, bahkan dapat membahayakan demokrasi kita.

Seseorang bisa dicap dengan begitu mudah sebagai 'perusak' alam demokrasi jika saat ia menentukan pilihan suara politiknya kepada seseorang -katakanlah dalam konteks pilkada, pileg atau pilpres- didasarkan atas sentimen kekerabatan, kesukuan, atau keyakinan agamanya.

Paradigma negatif prihal SARA tersebut kemudian mendapat puncak momentumnya saat Pilkada DKI Jakarta 2017 yang lalu. Namun apakah benar bahwa SARA adalah suatu hal yang berbahaya dan dilarang dalam arus politik demokrasi?

Satu fakta yang tak bisa kita patahkan adalah bahwa kita terlahir berbeda. Bahkan hal itu dinyatakan secara langsung dalam Alqur'an (49:18) bahwa manusia yang terlahir itu tumbuh bersuku-suku, berbangsa-bangsa untuk kemudian satu sama lain saling kenal mengenali.

Artinya, masing-masing dari kita memiliki identitas kompleks yang meliputi keturunan, kesukuan, kebangsaan bahkan keyakinan terhadap suatu ajaran agama tertentu. Hal itu melekat kuat tak bisa dilepas dari dalam diri kita.

Lebih jauh, fakta sejarah menyebutkan, Indonesia Merdeka terlahir dari rahim keragaman yang menyatu dalam satu kesatuan yang utuh; Bhinneka Tunggal Ika.

Kenyataan tersebut tentu akan menjadi suatu pola pikir masyarakat yang kuat dalam menjalani setiap aspek kehidupannya, tak terkecuali dalam urusan politik. Dengan sendirinya orang akan menggunakan dan mengutamakan aspek SARA dalam menentukan siapa pemimpinnya.

Jika kita bertanya: atas dasar apa anda memilih Ramdhany sebagai pemimpin anda? "Karena dia orang Tasikmalaya, suku Sunda, agamanya Islam, pandangan politiknya religius-nasionalis," misal jawabannya. Hal itu adalah suatu hal yang wajar bagi siapa saja sebagai suatu alasan sederhana dalam menentukan pilihan.

Atau jika ada juru kampanye berorasi: "Pilihlah Ramdhany, karena dia orang Sunda!" Itu juga merupakan suatu hal yang sah dan boleh-boleh saja dalam arus demokrasi yang sehat.

Artinya, menggunakan pendekatan SARA dalam konteks politik adalah suatu hal yang tidak perlu dipermasalahkan, itu hal yang wajar. Yang salah adalah ketika satu sama lain saling merasa paling unggul, saling merendahkan, saling memfitnah dan saling menjelekkan.

Bahwa setiap suku dan ras memiliki kearifan, setiap agama mengajarkan nilai-nilai kebaikan, dan setiap golongan memiliki tujuan untuk mewujudkan tatanan masyarakat adil dan makmur. Tidak ada yang salah dari SARA itu.

Janganlah jadikan SARA sebagai 'kambing hitam' atas strategi politik adu domba yang dimainkan oleh pihak-pihak yang ingin menjadikan kehidupan berbangsa kita menjadi pecah dan terbelah. Justeru karena kedewasaan menyikapi SARA, Indonesia Merdeka ini ada.

Mari kita sama-sama memberikan pendidikan politik yang baik kepada masyarakat sebagai ikhtiar untuk mendewasakan demokrasi kita, tanpa harus mengorbankan keragaman suku, ras, agama dan golongan yang semestinya kita rawat demi keutuhan bangsa. Semoga!

1 komentar: