Proyeksi
gagasan pembaharuannya kemudian dapat terealisasi setelah ia diangkat menjadi
Rektor IAIN. Harun Nasution merumuskan empat arah kebijakan, yaitu: (1) mendasarkan
tujuan dan fungsi IAIN Jakarta atas dasar kebutuhan masyarakat pada umumnya dan
DKI Jakarta khususnya; (2) mengutamakan kualitas dari pada kuantitas; (3)
meningkatkan mutu ilmiah; dan (4) menyederhanakan dan menyempurnakan
organisasi. Untuk merealisasikan kebijakan tersebut langkah awal yang diambil
adalah merevitalisasi kurikulum IAIN menjadi lebih
komprehensif pada wilayah studi ilmiah.
Harun
Nasution merupakan founder pembaharu
kajian keislaman di Indonesia, melalui buku “Islam Ditinjau dari Berbagai
Aspeknya”. Ia sangat bersemangat dalam menampilkan wajah Islam yang komprehensif,
utuh dan menyeluruh. Kelengkapan ajarannya adalah karena memuat seluruh aspek kehidupan. Ia juga mendorong kepada umat muslim untuk dapat
menguasai sains dan tidak takut pada tradisi berpikir filsafat. Harun
menyatakan bahwa hanya agama yang tidak rasional yang tidak bisa berdampingan
dan bersahabat dengan filsafat. Lebih lanjut ia meyakini, agama yang rasional
bisa berdampingan dan bersahabat dengan filsafat, karena falsafat akan
berfungsi sebagai senjata yang dapat dimanfaatkan untuk berteologi, yakni
menjelaskan dan membela keyakinan agama dan menangkis serangan-serangan
terhadap agama.
Kekuatan
intelektual Harun Nasution sangat telihat tatkala pemaparan ide dan gagasan
besarnya dengan menggunakan pendekatan dan metodologi ilmiah, baik dalam ilmu
kalam, filsafat, maupun tasawuf. Harun sangat tepat disebut sebagai perancang,
pemikir, pendobrak dan pembaharu dalam tradisi keislaman yang akademik di
lingkungan perguruan tinggi Islam Indonesia yang menginspirasi lahirnya banyak
pemikir besar di kemudian hari, semisal Nurcholish Madjid (Cak Nur) dan
Azyumardi Azra.
Setelah
Harun hadir dengan gagasan “Islam Rasional”, kemudian Nurcholis Madjid (Cak
Nur)[3]
menyambut dan melanjutkan tongkat estafet tradisi pemikiran dengan membawa
gagasan pluralisme dan sekulerisme.
Cak
Nur merupakan salah satu tokoh pembaruan pemikiran dan gerakan Islam di
Indonesia. Ia juga merupakan seorang pemikir Islam, cendekiawan, dan budayawan
yang sangat produktif. Pada masa mudanya, Cak Nur adalah aktifis Himpunan
Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Ciputat dan sempat menjadi Ketua Umum PB HMI
selama dua periode (1966-1969 dan 1969-1971). Saat aktif di organisasi ini, Cak
Nur membuat Nilai-nilai Dasar Perjuangan (NDP) yang di kemudian menjadi
landasan dasar ideologi perjuangan HMI di seluruh indonesia sampai
dengan saat ini.
Tentu saja kehadiran visi baru tentang “Keharusan Pembaruan Pemikiran Islam
dan Masalah Integrasi Umat” oleh Cak Nur pada tahun 1970 merupakan dobrakan
budaya (culture switch) sekaligus
koreksi sehingga semakin mempertajam pentingnya aksentuasi di bidang ide dan
ilmu dalam rangka merintis transformasi sosial budaya yang lebih kontekstual.[4]
Menurut
Nurcholis Madjid, kaum muslimin Indonesia sekarang ini mengalami kejumudan
kembali dalam pemikiran dan pengembangan ajaran-ajaran Islam serta kehilangan psychological striking force (kemantapan
jiwa untuk berinisiatif) dalam perjuangannya. Hal itu disebabkan antara lain
oleh budaya berfikir kuantitatif yang membanggakan jumlah kau muslimin dan perolehan
suara dalam pemilu, dan sikap eksklusif di kalangan umat Islam serta tidak adanya kebebasan berfikir.
Cak
Nur memberi solusi, hendaknya kaum muslimin menemukan kembali gagasan kemajuan
(idea of progress) dalam khazanah
nilai-nilai Islam dan berpola fikir kualitatif. Salah satu manifestasi tentang idea of progress di dalam Islam ialah
kepercayaan akan masa depan manusia dalam perjalanan sejarahnya. Maka tidak
perlu lagi khawatir akan perubahan-perubahan yang selalu terjadi pada tata nilai duniawi.
Sebetulnya, sikap reaksioner dan tertutup (eksklusif) terbit dari rasa pesimis
terhadap sejarah. Karena itu, Islam hanya diterima sebagai agama (al-Dîn),
bukan sebagai politik praktis, sebagaimana jargon yang ia lontarkan “Islam Yes,
Partai Islam No”.
Dalam
konsep sekularisasi-nya, Cak Nur menyatakan, “Jadi dengan sekularisasi tidaklah
dimaksudkan penerapan sekularisme dan mengubah kaum Muslimin menjadi kaum sekularis.
Tetapi dimaksudkan untuk menduniawikan nilai-nilai yang sudah semestinya
bersifat duniawi, dan melepaskan umat Islam dari kecenderungan untuk
mengukhrawikannya”.
Kemudian,
pada era 90-an, tongkat estafet dunia pemikiran yang lahir di tanah Ciputat
adalah Prof. Dr. Azyumardi Azra.[5]
Ia merupakan satu-satunya orang Indonesia yang memperoleh titel Commander of the Order of British Empire
pada tahun 2010. Title tersebut adalah sebuah gelar kehormatan dari Kerajaan
Inggris. Dengan gelar tersebut, Azyumardi adalah orang pertama di luar warga
negara anggota Persemakmuran Inggris yang boleh mengenakan kata “Sir” di depan namanya.
Kala
Azyumardi menjabat sebagai Rektor IAIN Jakarta (sekarang UIN), setumpuk gagasan
besar yang ada di benaknya kemudian ia realisasikan. IAIN sebagai institusi
Islam bisa menjadi lokomatif pembaharuan, khususnya di bidang pemikiran Islam,
baik di Indonesia maupun di dunia internasional, termasuk dunia Islam. Gagasan
utama yang dicanangkan oleh Azyumardi adalah “integrasi ilmu pengetahuan”,
yaitu penyatuan secara utuh antara ilmu agama dan ilmu umum. Ia menyatakan, "untuk
tahap ini, secara akademik saya sedang berupaya menghapus kesan dikhotomis
antara ilmu agama dan ilmu umum, saya mencoba mengintegrasikannya". Atas
gagasan besarnya itulah, status IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, secara resmi
berubah wajah menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah,
Jakarta, sejak 20 Mei 2002.
Azyumardi
adalah penggagas konsep “Modernisasi Pendidikan Islam”. Tujuannya adalah untuk
mengembalikan kejayaan peradaban Islam yang sempat mati suru selama
berabad-abad. Ia menyatakan, kemajuan ilmu pengetahuan Muslim di dunia
tergantung sistem pendidikan yang kemudian mengikuti transmisi dan implantasi
pengetahuan secara holistik. ‘’Sistem pendidikan Islam sebaiknya berdasarkan pengetahuan
agama, tapi pada saat yang sama berisi ilmu pengetahuan”.
Lebih
lanjut ia menyatakan bahwa setidaknya ada empat dasar yang harus menjadi
patokan untuk dapat mewujudkan gagasan program modernisasi pendidikan Islam,
yaitu: (1) Pendidikan agama harus rasional dan toleran; (2) Reorientasi masa
depan pendidikan Islam; (3) Transformasi sistem pendidikan Islam; dan (4) Missi
profetis ke arah peningkatan kaulaitas sumber daya manusia (reproduksi ulama).
Selanjutnya; Apa dan Siapa?
Meski
dengan gambaran yang sederhana, setidaknya ketiga tokoh tersebut mewakili
gambaran tentang alur cerita sebuah narasi besar yang telah ada. Ketiga tokoh
tersebut, masing-masing telah mampu keluar dari sebuah kemapanan suatu tatanan
dan menciptakan sebuah tatanan yang baru demi kemajuan sebuah pemikiran dan
peradaban.
Kini,
nampak satu fase dimana Dunia Pemikiran Ciputat berada dalam satu kondisi yang
kebingungan (disorientasi) untuk menentukan arah perjuangannya. Terlihat
orientasi politik lebih kental ketimbang penghargaan atas ilmu pengetahuan dan
kemajuan pemikiran. Dampaknya adalah terjadi devaluasi, yaitu memudarnya
nilai-nilai tradisi intelektualitas.
Menyadari
kondisi ini, tidak saja mengambil sikap kritis terhadap kondisi objektif tanpa
gagasan solutif. Menyadari kekurangan-kekurangannya berarti melihat secara
kritis-objektif kekurangan-kekurangan yang ada, memikirkan strategi apa yang
harus dilakukan membenahinya dan selanjutnya mengambil tindakan pembenahan,
hasil akhir proses dialektis antara kenyataan objektif dengan gagasan-ideal
konstruktif.
Pertanyaan yang kemudian hadir adalah gagasan besar apalagi yang perlu
untuk diperjuangkan demi melanjutkan tongkat estafet yang sebelumnya –tangga
demi tangga-sudah dirintis oleh para pendahulu kita itu. Sembari
bertanya kepada diri sendiri: apakah aku siap dan Mampu?
[1] Disampaikan dalam acara “Sarasehan Aktivis
Kampus: Merangkai Narasi Pembangunan, Merajut Kebersamaan”, Dema Fisip UIN
Jakarta, Rabu 11 November 2015.
[2]Harun Nasution lahir hari Selasa, 23
September 1919, di Pematang Siantar, Sumatera Utara. Putera dari Abdul Jabbar
Ahmad, seorang pedagang asal Mandailing dan Qadi (penghulu) pada masa
Pemerintahan Belanda di Kabupaten Simalungun Pematang Siantar. Lihat Aqib
Suminto dkk, Refleksi Pembaharuan Islam, 70 Tahun Harun Nasution (Jakarta:
LSAF, Cetakan I, 1989), 1-5.
[3]Prof. Dr. Nurcholish Madjid lahir di Jombang,
Jawa Timur, 17 Maret 1939 dan meninggal di Jakarta pada tanggal 29 Agustus 2005
pada umur 66 tahun.
[4]Muhammad Kamal Hasan, Modernisasi Indoensia: Respon Cendekiawan Muslim, Cet. I (Jakarta:
LSI, 1987), hal. 243
[5]lahir di Lubuk Alung, Padang Pariaman,
Sumatera Barat, 4 Maret 1955
0 komentar:
Posting Komentar