Ciputat; Sebuah Narasi Peradaban


Ciputat; Sebuah Narasi Peradaban[1]
Pada mulanya adalah Harun Nasution (Pematang Siantar, 1919-1998)[2] yang meletakkan gagasan agama (teologi) dan nalar (rasio) sebagai dasar untuk melakukan upaya gerakan pembaharuan (tajdid) di lingkungan Perguruan Tinggi Islam di Indonesia, khususnya IAIN yang berada di Ciputat. Harun mulai melakukan gerakan tersebut dari lingkungan yang sangat terbatas, seperti kelas di mana ia mengajar dan forum-forum diskusi yang kemudian melebar menjadi sebuah wacana nasional.
Proyeksi gagasan pembaharuannya kemudian dapat terealisasi setelah ia diangkat menjadi Rektor IAIN. Harun Nasution merumuskan empat arah kebijakan, yaitu: (1) mendasarkan tujuan dan fungsi IAIN Jakarta atas dasar kebutuhan masyarakat pada umumnya dan DKI Jakarta khususnya; (2) mengutamakan kualitas dari pada kuantitas; (3) meningkatkan mutu ilmiah; dan (4) menyederhanakan dan menyempurnakan organisasi. Untuk merealisasikan kebijakan tersebut langkah awal yang diambil adalah merevitalisasi  kurikulum IAIN menjadi lebih komprehensif pada wilayah studi ilmiah.
Harun Nasution merupakan founder pembaharu kajian keislaman di Indonesia, melalui buku “Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya”. Ia sangat bersemangat dalam menampilkan wajah Islam yang komprehensif, utuh dan menyeluruh. Kelengkapan ajarannya adalah karena memuat seluruh aspek kehidupan. Ia juga mendorong kepada umat muslim untuk dapat menguasai sains dan tidak takut pada tradisi berpikir filsafat. Harun menyatakan bahwa hanya agama yang tidak rasional yang tidak bisa berdampingan dan bersahabat dengan filsafat. Lebih lanjut ia meyakini, agama yang rasional bisa berdampingan dan bersahabat dengan filsafat, karena falsafat akan berfungsi sebagai senjata yang dapat dimanfaatkan untuk berteologi, yakni menjelaskan dan membela keyakinan agama dan menangkis serangan-serangan terhadap agama.
Kekuatan intelektual Harun Nasution sangat telihat tatkala pemaparan ide dan gagasan besarnya dengan menggunakan pendekatan dan metodologi ilmiah, baik dalam ilmu kalam, filsafat, maupun tasawuf. Harun sangat tepat disebut sebagai perancang, pemikir, pendobrak dan pembaharu dalam tradisi keislaman yang akademik di lingkungan perguruan tinggi Islam Indonesia yang menginspirasi lahirnya banyak pemikir besar di kemudian hari, semisal Nurcholish Madjid (Cak Nur) dan Azyumardi Azra.
Setelah Harun hadir dengan gagasan “Islam Rasional”, kemudian Nurcholis Madjid (Cak Nur)[3] menyambut dan melanjutkan tongkat estafet tradisi pemikiran dengan membawa gagasan pluralisme dan sekulerisme.
Cak Nur merupakan salah satu tokoh pembaruan pemikiran dan gerakan Islam di Indonesia. Ia juga merupakan seorang pemikir Islam, cendekiawan, dan budayawan yang sangat produktif. Pada masa mudanya, Cak Nur adalah aktifis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Ciputat dan sempat menjadi Ketua Umum PB HMI selama dua periode (1966-1969 dan 1969-1971). Saat aktif di organisasi ini, Cak Nur membuat Nilai-nilai Dasar Perjuangan (NDP) yang di kemudian menjadi landasan dasar ideologi perjuangan HMI di seluruh indonesia sampai dengan saat ini. 
Tentu saja kehadiran visi baru tentang “Keharusan Pembaruan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat” oleh Cak Nur pada tahun 1970 merupakan dobrakan budaya (culture switch) sekaligus koreksi sehingga semakin mempertajam pentingnya aksentuasi di bidang ide dan ilmu dalam rangka merintis transformasi sosial budaya yang lebih kontekstual.[4]
Menurut Nurcholis Madjid, kaum muslimin Indonesia sekarang ini mengalami kejumudan kembali dalam pemikiran dan pengembangan ajaran-ajaran Islam serta kehilangan psychological striking force (kemantapan jiwa untuk berinisiatif) dalam perjuangannya. Hal itu disebabkan antara lain oleh budaya berfikir kuantitatif yang membanggakan jumlah kau muslimin dan perolehan suara dalam pemilu, dan sikap eksklusif di kalangan umat  Islam serta tidak adanya kebebasan berfikir.
Cak Nur memberi solusi, hendaknya kaum muslimin menemukan kembali gagasan kemajuan (idea of progress) dalam khazanah nilai-nilai Islam dan berpola fikir kualitatif. Salah satu manifestasi tentang idea of progress di dalam Islam ialah kepercayaan akan masa depan manusia dalam perjalanan sejarahnya. Maka tidak perlu lagi khawatir akan perubahan-perubahan yang  selalu terjadi pada tata nilai duniawi. Sebetulnya, sikap reaksioner dan tertutup (eksklusif) terbit dari rasa pesimis terhadap sejarah. Karena itu, Islam hanya diterima sebagai agama (al-Dîn), bukan sebagai politik praktis, sebagaimana jargon yang ia lontarkan “Islam Yes, Partai Islam No”.
Dalam konsep sekularisasi-nya, Cak Nur menyatakan, “Jadi dengan sekularisasi tidaklah dimaksudkan penerapan sekularisme dan mengubah kaum Muslimin menjadi kaum sekularis. Tetapi dimaksudkan untuk menduniawikan nilai-nilai yang sudah semestinya bersifat duniawi, dan melepaskan umat Islam dari kecenderungan untuk mengukhrawikannya”.
Kemudian, pada era 90-an, tongkat estafet dunia pemikiran yang lahir di tanah Ciputat adalah Prof. Dr. Azyumardi Azra.[5] Ia merupakan satu-satunya orang Indonesia yang memperoleh titel Commander of the Order of British Empire pada tahun 2010. Title tersebut adalah sebuah gelar kehormatan dari Kerajaan Inggris. Dengan gelar tersebut, Azyumardi adalah orang pertama di luar warga negara anggota Persemakmuran Inggris yang boleh mengenakan kata “Sir” di depan namanya.
Kala Azyumardi menjabat sebagai Rektor IAIN Jakarta (sekarang UIN), setumpuk gagasan besar yang ada di benaknya kemudian ia realisasikan. IAIN sebagai institusi Islam bisa menjadi lokomatif pembaharuan, khususnya di bidang pemikiran Islam, baik di Indonesia maupun di dunia internasional, termasuk dunia Islam. Gagasan utama yang dicanangkan oleh Azyumardi adalah “integrasi ilmu pengetahuan”, yaitu penyatuan secara utuh antara ilmu agama dan ilmu umum. Ia menyatakan, "untuk tahap ini, secara akademik saya sedang berupaya menghapus kesan dikhotomis antara ilmu agama dan ilmu umum, saya mencoba mengintegrasikannya". Atas gagasan besarnya itulah, status IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, secara resmi berubah wajah menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta, sejak 20 Mei 2002.
Azyumardi adalah penggagas konsep “Modernisasi Pendidikan Islam”. Tujuannya adalah untuk mengembalikan kejayaan peradaban Islam yang sempat mati suru selama berabad-abad. Ia menyatakan, kemajuan ilmu pengetahuan Muslim di dunia tergantung sistem pendidikan yang kemudian mengikuti transmisi dan implantasi pengetahuan secara holistik. ‘’Sistem pendidikan Islam sebaiknya berdasarkan pengetahuan agama, tapi pada saat yang sama berisi ilmu pengetahuan”.
Lebih lanjut ia menyatakan bahwa setidaknya ada empat dasar yang harus menjadi patokan untuk dapat mewujudkan gagasan program modernisasi pendidikan Islam, yaitu: (1) Pendidikan agama harus rasional dan toleran; (2) Reorientasi masa depan pendidikan Islam; (3) Transformasi sistem pendidikan Islam; dan (4) Missi profetis ke arah peningkatan kaulaitas sumber daya manusia (reproduksi ulama).
Selanjutnya; Apa dan Siapa?
Meski dengan gambaran yang sederhana, setidaknya ketiga tokoh tersebut mewakili gambaran tentang alur cerita sebuah narasi besar yang telah ada. Ketiga tokoh tersebut, masing-masing telah mampu keluar dari sebuah kemapanan suatu tatanan dan menciptakan sebuah tatanan yang baru demi kemajuan sebuah pemikiran dan peradaban.
Kini, nampak satu fase dimana Dunia Pemikiran Ciputat berada dalam satu kondisi yang kebingungan (disorientasi) untuk menentukan arah perjuangannya. Terlihat orientasi politik lebih kental ketimbang penghargaan atas ilmu pengetahuan dan kemajuan pemikiran. Dampaknya adalah terjadi devaluasi, yaitu memudarnya nilai-nilai tradisi intelektualitas.
Menyadari kondisi ini, tidak saja mengambil sikap kritis terhadap kondisi objektif tanpa gagasan solutif. Menyadari kekurangan-kekurangannya berarti melihat secara kritis-objektif kekurangan-kekurangan yang ada, memikirkan strategi apa yang harus dilakukan membenahinya dan selanjutnya mengambil tindakan pembenahan, hasil akhir proses dialektis antara kenyataan objektif dengan gagasan-ideal konstruktif.
Pertanyaan yang kemudian hadir adalah gagasan besar apalagi yang perlu untuk diperjuangkan demi melanjutkan tongkat estafet yang sebelumnya –tangga demi tangga-sudah dirintis oleh para pendahulu kita itu. Sembari bertanya kepada diri sendiri: apakah aku siap dan Mampu?



[1] Disampaikan dalam acara “Sarasehan Aktivis Kampus: Merangkai Narasi Pembangunan, Merajut Kebersamaan”, Dema Fisip UIN Jakarta, Rabu 11 November 2015.
[2]Harun Nasution lahir hari Selasa, 23 September 1919, di Pematang Siantar, Sumatera Utara. Putera dari Abdul Jabbar Ahmad, seorang pedagang asal Mandailing dan Qadi (penghulu) pada masa Pemerintahan Belanda di Kabupaten Simalungun Pematang Siantar. Lihat Aqib Suminto dkk, Refleksi Pembaharuan Islam, 70 Tahun Harun Nasution (Jakarta: LSAF, Cetakan I, 1989), 1-5.
[3]Prof. Dr. Nurcholish Madjid lahir di Jombang, Jawa Timur, 17 Maret 1939 dan meninggal di Jakarta pada tanggal 29 Agustus 2005 pada umur 66 tahun. 
[4]Muhammad Kamal Hasan, Modernisasi Indoensia: Respon Cendekiawan Muslim, Cet. I (Jakarta: LSI, 1987), hal. 243
[5]lahir di Lubuk Alung, Padang Pariaman, Sumatera Barat, 4 Maret 1955 

0 komentar:

Posting Komentar