IJMA`


Abstrak: Dalam makalah ini kita akan menemukan dua pengertian Ijma`, yaitu pengertian Ijma` yang dirumuskan oleh ulama/mujtahid akhir abad ketiga Hijriyah dan pengertian Ijma` yang dirumuskan oleh Fajlur Rahma. Dalam pengertian yang pertama, Ijma` dijadikan salah satu sumber hukum Islam dengan menggunakan metodologi (manhaj) yang bersifat kaku dan sulit untuk diimplementasikan. Sedangkan Rahman mengkhendaki Ijma` dijadikan sumber hukum yang hidup dan tidak hanya sekedar menjadi hukum di dalam buku (law in book) melainkan dapat diimplementasikan dalam kehidupan nyata, khususnya dalam kehidupan bernegara yaitu berupa undang-undang (qanȗn).
Pendahuluan
Di dalam teori hukum Islam (`ilm al-ushul al-fiqh) yang diformulasikan oleh para ahli hukum Islam, bahwa hukum Islam dibangun di atas empat struktur dasar hukum yang disebut sebagai sumber-sumber hukum Islam, yaitu al-Qur`an, Sunnah Nabi, Qiyas, dan Ijma`. Dari urutan tersebut, nampak bahwa al-Qur`an merupakan sumber utama hukum Islam, yang oleh Fajlur Rahman disebut memiliki identitas yang khas, tidak sebagaimana tiga sumber hukum Islam lainnya –yaitu Sunnah Nabi, Qiyas, dan Ijma`– dimana antara ketiganya dasar tersebut terjadi interaksi yang erat dan telah memiliki perkembangan yang sangat signifikan seiring dengan berjalannya waktu.[1] Perkembangan tersebut dapat kita lihat dari adanya evolusi konsep Sunnah Nabi menjadi Hadis, praktek ijtihad dari penalaran rasional individual (ra`yi) yang kemudian disistematisasi menjadi Qiyas, kemudian  ra`yi menjadi konsep Ijma`.
Kita mengetahui bahwa di awal sejarah Islam konsep-konsep Ijtihad dan Ijma` tidak hanya saling berhubungan, tetapi masing-masing di antara keduanya berhubungan pula dengan konsep Sunnah. Sunnah ini bermula dari sunnah Nabi dan berubah menjadi proses penafsiran dan penyempurnaan yang berkelanjutan terus-menerus dan didukung oleh Ijma`.
Para ahli ushul al-fiqh setelah imam al-Syafi`i pada umumnya mengartikan Ijma` sebagai kesepakatan yang bersifat formal dan final, sehingga sama sekali tidak ada pertentangan di dalamnya. Bahwa pada masa al-Syafi`i para ahli hukum Madinah tidak menerapkan konsep Ijma` sebagai sesuatu yang diciptakan atau diterapkan, melainkan sebagai proses yang berjalan terus menerus. Bagi mereka –ahli hukum Madinah— Ijma` tidak dijadikan sebagai dasar hukum yang formal, melaikan informal. Dengan kata lain, Ijma` merupakan hasil dari kristalisasi pendapat-pendapat hasil ijtihad, setelah mengalami proses interaksi nilai dalam proses waktu yang relatif lama, yang tidak menutup kemungkinan muncul pendapat lain atau pendapat yang baru.
Pengertian Ijma`
Secara formal, doktrin Ijma` sebagai dasar hukum Islam itu dibentuk pada akhir abad keempat Hijriyah.[2] Karena sebelum akhir abad tersebut, Ijma` itu hidup di tengah-tengan masyarakat Madinah –sama halnya seperti Sunnah Nabi dan Qiyas— yang mengalir seiring berjalannya waktu dengan berbagai peristiwa sosial kemasyarakatan yang terjadi di dalamnnya tanpa memerlukan suatu kerangka teoritis-metodis seperti halnya Ijma` para mujtahid yang kita kenal dewasa ini.
Secara bahasa (etimologi), Ijma` mengandung dua pengertian, pertama al-ittifȃq yang artinya kesepakatan (agreement); kedua al-azm yang berarti ketetapan (provision).
Mayoritas ahli ushul al-fiqh setelah al-Syafi`i, secara umum mengartikan ijma sebagai kesepakatan ulama atau mujtahid mengenai suatu hukum Islam. al-Syairozi (478 H) mengartikan Ijma` sebagai kesepakatan ulama mengenai hukum suatu peristiwa. al-Ghazali (w. 505 H) mengartikan ijma’ sebagai kesepakatan umat Muhammad mengenai urusan tertentu agama Islam.[3] al-Amidi (w. 631 H) menyampaikan pengertian bahwa Ijma:[4]
“Kesepakatan dari semua anggota ahl al-hȃl wa al-aqd dari ummat Muhammad dalam satu periode tertentu mengenai suatu hukum peristiwa tertentu.”
Definisi ini berlaku jika umat atau massa tidak dipandang sebagai bagian dari pokok Ijma’, tetapi jika mereka diikutsertakan dalam bagian Ijma’, maka pengertiannya menjadi:
“Kesepakatan seluruh umat Muhammad dalam satu periode tertentu mengenai suatu hukum peristiwa tertentu.”
Abdul Wahhab Khallaf merumuskan definisi Ijma` secara sistematis sebagai berikut:
Ijma menurut istilah ulama ushul (ushuliyin) ialah kesepakatan semua mujtahidin di antara umat Islam pada suatu masa setelah kewafatan Rasulullah SAW atas hukum syar`i mengenai suatu kejadian/kasus.[5]
Menurut Abdul Wahhab Khallaf, setidaknya ada empat sendi penopang Ijma`, yaitu:[6]
1.    Adanya sebilangan para Mujtahid pada waktu terjadinya suatu peristiwa, karena kesepakatan itu tidak dapat dicapai kecuali dengan beberapa pendapat, yang masing-masing di antaranya sesuai dengan lainnya. Maka sandainya pada suatu waktu tidak terdapat adanya beberapa mujtahid, misalnya tidak didapati satu orang Mujtahid saja, maka tidaklah dapat terjadi ijma` pada waktu itu menurut syara`. Dari itulah tidak ada ijma` pada masa Rasulullah SAW karena pada waktu itu beliau sendirilah Mujtahid itu.
2.    Adanya kesepakaan semua Mujtahid umat Islam atas suatu hukum syara` mengenai suatu peristiwa pada waktu terjadinya, tanpa memandang negeri mereka, kebangsaan atau kelompoknya. Maka seandainya terjadi kesepakatan atas suatu hukum syar`i mengenai suatu peristiwa oleh para Mujtahid negeri Mekkah dan Madinah saja, atau Mujtahid Iraq saja, atau Mujtahid Hijaz saja, atau Mujtahid keluarga nabi saja, atau Mujtahid Ahlu Sunnah saja, maka dengan kesepakatan secara khusus ini tidaklah terjadi ijma` menurut syara`, karena ijma` itu tidak bisa terjadi kecuali dengan kesepakatan secara umum dari semua Mujtahid dunia Islam pada masa suatu kejadian. Dan tidak termasuk di dalamnya, orang (kelompok) yang bukan Mujtahid.
3.    Adanya kesepakatan mereka itu dengan menampilkan pendapat masing-masing mereka secara jelas mengenai suatu kejadian, baik penampilan itu berbentuk ucapan (qouli), misalnya dengan memberi fatwa mengenai suatu kejadian, atau bentuk perbuatan (fi`li) misalnya suatu keputusan mengenai suatu hal atau kejadian.
4.    Dapat direalisir kesepakatan dari semua Mujtahid atas suatu hukum. Seandainya pada sebagian besar mereka telah terjadi kesepakatan, maka tidaklah terjadi Ijma` atas dasar kesepakatan sebagian besar, ketika jumlah penentang itu sedikit dan jumlah yang mufakat itu banyak, karena selama masih terdapat pertentangan, berarti masih terdapat pula kemungkinan benar bagi suatu pihak dan kemungkinan salah (keliru) bagi pihak lainnya. Jadi sesepakatan mayoritas itu tidak menjadi hujjah syar`iyah secara pasti dan apalagi dikukuhkan.
Kemudian Ijma` terbagi atas dua jenis, yaitu: Pertama, Ijma` Shorikh yaitu kesepakatan para mujtahid suatu masa atas hukum suatu peristiwa dengan menampilkan pendapat masing-masing secara jelas dengan sistem fatwa atau qodho` (memberi keputusan). Artinya setiap mujtahid menyampaikan ucapan atau perbuatan; Kedua, Ijma` Sukuti yaitu sebagaian para mujtahid suatu masa menampilkan pendapanya secara jelas mengenai suatu peristiwa dengan sistem fatwa atau qodho`, sedangkan sebagian para Mujtahid lainnya tidak memberikan tanggapan terhadap pendapat tersebut mengenai kecocokannya atau perbedaannya.
Ijma Shorikh juga bisa disebut sebagai Ijma` Haqiqi, yaitu Ijma`  yang dijadikan sebagai hujjah syar`iyyah menurut madzhab mayoritas (jumhur). Sedangkan Ijma` Sukuti  bisa disebut juga sebagai Ijma` i`tibari, karena seorang Mujtahid yang diam belum tentu dia sepakat dengan keputusan hukum yang telah dilontarkan oleh sebagian besar Mujtahid lainnya. Maka tidak ada kepastian tentang adanya kesepakatan dan terbentuknya Ijma`. Maka mayoritas ulama berpendapat bahwa Ijma Sukuti bukanlah sebagai hujjah, dan bahwasanya Ijma Sukuti itu tidak lebih hanya sebatas pendapat sebagian perorangan para mujtahid.[7]
Dari beberapa pengertian mengenai Ijma`di atas, Fazlur Rahman memberikan komentar dan kritik. Baginya, pengertian Ijma` yang dikembangkan oleh mayoritas ulama ushul al-fiqh –yakni Ijma` sebagai kesepakatan bulat seluruh mujtahid— menyebabkan stagnansi konsep Ijma`, sehingga Ijma` dalam batasan tersebut tidak mampu mengakomodir berbagai persoalan baru dalam lingkup sosial kemasyarakatan terutama yang menyangkut hukum syara`.
Komentar Rahman:
“Suatu prinsip stabilisasi tanpa adanya prinsip perkembangan dengan sendirinya akan menjadi alat penindas yang statis, lalu berkembanglah teori infalibillitas (ketidakmungkinan salah) pada Ijma`. Pada masa sahabat mempunyai otoritas pragmatis dari kesepakatan suatu komunitas diubah menjadi kemutlakan teoritis dalam batas nilai-nilai kebenaran, dengan demikian Ijma` menjadi suatu mekanisme yang dibangun secara teoritis menjadi otoritarianisme (paham kemutlakan) tradisional.”[8]
Kutipan di atas menunjukkan analisis Rahman mengenai terjadinya peralihan konsep Ijma’ pada dua masa, yaitu masa sebelum dan sesudah Imam al-Syafi’i. Pada masa-masa awal Ijma’ –masa sebelum al-Syafi`i— merupakan kesepakatan (konsensus) masyarakat. Hal ini ia buktikan dengan beberapa data yang menyatakan bahwa pada saat itu tidak hanya ada satu praktek yang berkembang dan yang mereka sepakati, dan bukanlah kesepakatan bulat yang menisbikan setiap kemungkinan perbedaan.[9]
Rahman menyatakan:
“Kita temukan bahwa dalam sejarah (Islam) pada masa sahabat, ijtihad dan Ijma` tidak hanya saling berhubungan satu sama lainnya. Tetapi juga berhubungan dengan sunnah yang bermula dari sunnah Nabi, yang merupakan proses interpretasi dan elaborasi kreatif yang berlangsung terus menerus yang kemudian dinamakan dengan Ijma`.”[10]
Rahman mencontohkan praktek Ijma` yang didasarkan pada ijtihad atau qiyas, yaitu tentang pengangkatan Abu Bakar menjadi Khalifah. Pengangkatan tersebut terjadi di Saqifah Bani Sa’idah setelah wafatnya Muhammad SAW. Hal tersebut diqiyaskan kepada penunjukan Abu Bakar oleh Nabi saw menjadi imam shalat waktu Nabi sedang sakit. Dari contoh di atas diketahui bahwa proses pengangkatan Abu Bakar didasari oleh ijtihad Umar Ibn Khattab, yang kemudian dijustifikasi dengan Ijma`. Proses penetapan Ijma` pada masa sahabat tersebut, terutama pendapat Umar pada dasarnya merupakan pendapat pribadi (ijtihad) dan kemudian menjadi suatu kesepakatan/persetujuan universal oleh umat secara mayoritas.[11] Fungsi utama Ijma` pada masa awal tersebut adalah untuk menyatukan pendapat yang berbeda mengenai suatu persoalan dengan cara progresif.
Jadi dapat dinyatakan bahwa ijtihad dan Ijma` merupakan dua alat yang saling berkaitan dengan suatu proses yang bersinambungan. Dalam ijtihad bisa terjadi pendapat seseorang individu dalam suatu kasus sangat sesuai, sehingga memperoleh pengakuan umat secara keseluruhan (Ijma`).
Fazlul Rahman kemudian membangun suatu metode baru terhadap pemahaman Ijma` secara komprehensif. Baginya, Ijma` adalah:
“Suatu konsensus umat melalui hasil ijtihad atau jihad intelektual oleh suatu masyarakat untuk memahami suatu teks Al-Quran atau Sunnah melalui interaksi ide yang relevan dengan situasi dan kondisi yang tidak monolitis, bersifat lokal dan regional serta tidak bersifat ma’shum (mengandung kemungkinan salah).”[12]
Dari pengertian di atas, Rahman ingin menegaskan bahwa Ijma` bukanlah sebuah fakta statis yang ditetapkan atau diciptakan, tetapi merupakan sebuah proses yang berlangsung terus menerus. Ijma` juga tidak bersifat formal, ia tumbuh secara wajar. Dalam pertumbuhannya bersamaan dengan perbedaan-perbedaan pendapat. Dalam masalah ini pencapaian Ijma` mesti diperlukan ijtihad, sehingga setiap masalah yang diperselisihkan harus dihadapi dengan ijtihad sehingga mencapai Ijma` (kesepakatan) yang baru.
Ijtihad dan Ijma`
Ijtihad dan Ijma’ masing-masing merupakan prinsip dan proses pembentukan hukum Islam. Baginya, ijtihad atau jihad intelektual adalah upaya untuk memahami suatu teks atau preseden yang relevan di masa lampau yang berisi suatu aturan, dan untuk mengubah aturan tersebut dengan memperluas, membatasi atau memodifikasinya dengan cara yang sedemikain rupa, sehingga suatu situasi baru terintegral di dalamnya dengan suatu solusi yang baru. ijtihad sebenarnya merupakan suatu upaya untuk berpikir dan menemukan hukum-hukum baru yang sesuai dengan perkembangan zaman. Sedangkan proses pembentukannya melalui proses interaksi pendapat di masyarakat sehingga terkristal menjadi opini publik atau Ijma’. Demikianlah maksud ungkapan Rahman bahwa Ijtihad dan Ijma’ masing-masing merupakan prinsip dan proses pembentukan hukum Islam,[13] seperti halnya pengangkatan Abu Bakar sebagai Khalifah sebagaimana telah dijelaskan di atas.
Dari Ijma` Menuju Qanun
Fazlul Rahman mengkaitkan konsep Ijma` dengan upaya penetapan undang-undang oleh dewan legislatif. Kaitan Ijma` dan penetapan perudang-undangan melalui badan legislatif merupakan upaya pembentukan hukum Islam yang selama ini terabaikan dalam mayoritas literatur ushul fiqh.[14]
Menurut Rahman, prinsip penerapan hukum yang dikembangkan dalam mayoritas literatur ushul al-fiqh adalah prinsip ifta’ (penyampaian fatwa). Dalam prinsip Ifta’ seseorang mufti hanya mampu berperan menyampaikan saran-saran hukum, yang merupakan pendapat pribadinya, baik kepada masyarakat maupun kepada penguasa.
Baginya, opini publik (pendapat yang berkembang di masyarakat) harus dilangkahlanjuti dengan upaya taqnin, yakni penetapan hukum Islam menjadi perundang-undangan. penetapan ini merupakan wewenang penguasa, dalam hal ini adalah badan legislatif yang terdiri dari wakil-wakil rakyat.
Fazlul Rahman memandang bahwa Ijma` dan taqnin sebagai dua hal yang penting berkaitan terutama dalam hal hukum. Ijma` merupakan proses dan produk syura masyarakat, sedangkan taqnin merupakan proses syura lembaga legislatif yang mengolah produk Ijma` masyarakat menjadi Ijma` yuridis yang mengikat dan konsekuen.
Nampak dari uraian tersebut, Rahman ingin menjadikan hukum Islam sebagai hukum positif. Adanya unsur positifikasi tersebut untuk mengubah citra hukum Islam tidak sekedar sebagai “law in book”. Dan proses positifikasi tersebut pada dasarnya merupakan upaya siyasah al-syar‘iyah (politik penerapan hukum) yang dalam mayoritas literatur ushul al-fiqh klasik belum mengenalnya apalagi menerapkannya.[15]
Kesimpulan
Memahami Ijma` dari sudut pandang historis akan menghantarkan kita pada suatu pemahaman bahwa Ijma` itu tidak sekedar menjadi sumber hukum Islam yang bersifat normatif, tapi juga menjadi sumber hukum yang hidup di tengah kehidupan masyarakat, khususnya Ijma` yang terjadi sebelum akhir abad keempat Hijriyah.
Ijma`, dalam kehidupan modern, perlu dibentuk sebuah formulasi baru sebagai wujud dari semangat pembaharuan hukum Islam dalam usaha menjawab tantangan zaman, seperti halnya yang telah digagas oleh Fajlur Rahman. Di saat ada satu peristiwa yang hukumnya tidak kita temukan dalam nash al-Qur`an dan Hadis, disitulah arti penting ijtihad untuk kemudian disepakati oleh mayoritas umat. Terlebih jika diperlukan, Ijma` yang berkembang di masyarakat atas hasil ijtihad tersebut dapat diaktualisasikan dalam lembaga legal – formal (legislatif) untuk kemudian dijadikan sebagai Undang-undang (qanun).

 Daftar Pustaka
Al-Syafi’i. Ar-Risalah. Al-Halabi. Mesir Syirkah Maktabah wa Mathaba’ah Mustafa al-Babi, 1968.
Amal, Taufik Adnan. Islam dan Tantangan Modernitas; Studi atas Pemikiran Hukum Fazlur Rahman, Bandung: Mizan, 1996.
Ghufron A. Mas`adi, Pemikiran Fazlur Rahman Tentang Metodologi Pembaharuan Hukum Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997
Hasan, Ahmad. The Doctrin of Ijma` in Islam: A Study of the Juridical Prinsiple of Consensus, New Delhi: Kitab Bhavan, 1992
Khallaf, Abdul Wahab. Ushul Fiqh, Dar al-Fikr, t.th. Edisi Indonesia. Kaidah-kaidah Hukum Islam: Ilmu Ushulul Fiqh, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996
Rahman, Fazlur. Islamic Methodology in History, Karachi: Central Institute of Islamic Research’, 1965. Edisi Indonesia. Membuka Pintu Ijtihad, Terj. Anas Mahyiddin. Bandung: Pustaka, 1995.



[1]    Fazlur Rahman, Islam, Terj. Ahsin Muhammad (Bandung: Pustaka, 1994), h. 75.
[2] Ahmad Hasan, The Doctrin of Ijma` in Islam: A Study of the Juridical Prinsiple of Consensus, (New Delhi: Kitab Bhavan, 1992), h. 72.
[3] Ghufron A. Mas`adi, Pemikiran Fazlur Rahman Tentang Metodologi Pembaharuan Hukum Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997), h 141.
[4] Ahmad Hasan, h. 73
[5] Abdul Wahhab Khallaf, Ilm Ushul al-Fiqh, (Kairo: Maktabah Da`watul Islamiyah, tt) h.  45.
[6] Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam: Ilmu Ushulul Fiqh, terj. (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996), h. 64-66.
[7]  Abdul Wahhab Khallaf, h. 74.
[8] Fazlur Rahman, Islam and Modernity, Transformation of an Intelectual Tradition, (Chicago: University of Chicago Press, 1982), h. 17.
[9] Ghufron A. Mas`adi, Pemikiran Fazlur Rahman Tentang Metodologi Pembaharuan Hukum Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997), h. 142.
[10] Fazlur Rahman, Islamic Methodologi in History, dikutip dari Taufik Adnan Amal dalam Islam dan Tantangan Modernitas; Studi atas Pemikiran Hukum Fazur Rahman. Cet, VI (Bandung: Mizan, 1996), h. 171.
[11] Chairul Fahmi, Konsep Ijma` Menurut Fazlur Rahman dan Pembaharuan Hukum Islam dalam Jurnal Ilmiah Islam Futura Volume XI, No. 1, Agustus 2011, h. 36.
[12]  Fazlur Rahman, Membuka Pintu Ijtihad, Terj. Areas Mahyuddin (Bandung:
Pustaka, 1995), h. 18.
[13] Ghufron A. Mas`adi, h. 144.
[14] Fazlur Rahman, Implementation of the Islamic Consept of States in the Pakistani, Dalam Islam in Tradition; Muslim Perspectives, Terj. John Donohua dan John Esposito ( Jakarta: Rajawali Press, 1993), h. 496.
[15] Taufik Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas: Studi atas Pemikiran Hukum Fazlur Rahman (Bandung: Mizan. 1996), h. 167.

Related Posts:

0 komentar:

Posting Komentar