
Semua orang –baik yang memiliki KTP Jakarta atau tidak— masing-masing mengambil peran, ada yang menjadi tim sukses pemenangan pasangan calon, juru kampanye, menjadi pengamat, dan/atau hanya sebatas memposisikan diri sebagai komentator saja.
Setidaknya ada dua alasan mengapa Pilkada DKI Jakarta sangat menyedot banyak perhatian masyarakat secara luas. Pertama, DKI Jakarta merupakan Ibukota Republik Indonesia, yang dalam hal ini posisinya sangat strategis bagi setiap orang untuk kemudian berlaga di kancah pertarungan politik nasional.
Dalam hal ini, secara faktual, Jokowi telah membuktikan bahwa setelah dirinya menang di Pilkada Jakarta 2012 kemudian ia mencalonkan diri di Pilpres 2014 dan garis takdir pun menjadikannya sebagai presiden.
Kedua, kehadiran sosok gubernur yang kontroversial, Basuki Tjahja Purnama (Ahok) yang mencalonkan diri sebagai calon gubernur di Pilkada DKI Jakarta. Predikat ‘kontroversial’ bagi seorang Ahok tentu bukan penilaian tanpa dasar. Faktanya, tidak sedikit dari setiap ucapan dan kebijakannya sebagai seorang gubernur mengundang banyak reaksi dan kecaman keras dari masyarakat.
Lantas kemudian, bagaimana kader Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) seharusnya bersikap dan mengambil peran dalam perhelatan Pilkada DKI Jakarta 2017?
Perlu diketahui bersama bahwa sifat atau watak dasar yang melekat kuat dalam tubuh HMI adalah independen. secara etis, independensi tersebut dimaknai dengan kondisi individu yang bebas dalam berpikir serta berdaulat dalam memilih atau bertindak. Kebebasan individu tersebut, bagi HMI, merupakan fitrah asal manusia dilahirkan ke dunia ini.
Bagi setiap individu yang memiliki indepedensi etis di dalam dirinya, setiap apa yang hendak ia putuskan dan ia pilih dalam kehidupan ini selalu didasarkan atas aspek rasionalitas dan kehendak bebas, dengan catatan bahwa dua hal tersebut berdasar atas nilai-nilai kebaikan dan kebenaran. Keberpihakan terhadap kebenaran tersebut yang kemudian menjadi identitas diri bagi setiap kader himpunan ini.
Dalam konteks Pilkada, apakah kader HMI harus berpihak? Ya, wajib hukumnya bagi setiap kader HMI berpihak. Keberpihakannya tentu pada kebenaran. Kebenaran tersebut tidak lain adalah Allah, yang melalui al-Qur`an dan Rasulnya, pesan-pesannya kita tangkap sebagai bahan rujukan untuk kita aplikasikan dalam kehidupan sehari-hari, termasuk dalam urusan politik.
Setidaknya, melalui al-Qur`an, kita ketahui kualitas ideal yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin yang dalam kenyataannya termanifestasi dalam sifat-sifat yang dimiliki oleh Muhammad, Sang Utusan Allah. Ia adalah sosok pemimpin yang berbudi pekerti baik, jujur, amanah, cerdas, berani, tegas, bertutur kata lembut nan bermakna, adil dan bijaksana.
Tidak usah kita terlarut dalam kubangan perdebatan prihal tafsir ayat al-Qur`an yang menyebabkan kehidupan di antara kita kontra-produktif, bahkan berujung pada pertikaian dan perselisihan. Hakikat al-Qur`an adalah benar pada dirinya, prihal tafsiran yang berbeda, marilah kita sama-sama saling menghormati atas apa yang kita pahami di balik teks tersebut. Asal paham ilmu dan kaidah-kaidahnya, siapapun berhak untuk menafsirkan, tanpa terkecuali.
Saya mengimbau kepada seluruh kader himpunan –baik yang masih aktif atau yang sudah alumni— untuk selalu berpegang teguh pada nilai-nilai indepedensi di manapun dan kapanpun kalian berada, termasuk dalam menghadapi realita politik di ibu kota ini.
Pastikanlah bahwa apa yang sedang kita perjuangkan tidak lain adalah berdasar atas kecenderungan kita untuk berpihak pada nilai-nilai kebenaran, bukan karena kepentingan individu atau kelompok tertentu.
Dan marilah kita kawal momentum Pilkada ini dengan baik demi terwujudnya proses demokrasi yang sehat, jujur, adil dan damai serta melahirkan sosok pemimpin ideal yang sesuai –atau setidaknya mendekati— kualitas-kualitas yang tercermin pada sosok panutan kita, Muhammad sang pembawa risalah kebenaran.
0 komentar:
Posting Komentar